Senin, 14 Maret 2016

Menyenangkan Hati Tuhan oleh IV B Kelompok II



Nama              :Dwi Pepayosa Ginting
Nurintan Damanik
Rutin Sari Saragih
Sweetry Noverlindra Sitohang
Yuwan Fades Ambarita
Ting/jur          : IV-B/Teologi
M. Kuliah       : Liturgika
Dosen              : Pdt. Edward Simon Sinaga, M.Th
Pengakuana Dosa, Pemberitaan Anugerah dan Hukum

I.                   Pendahuluan
Pengakuan Dosa, Pemberitaan Anugrah dan Hukum merupakan unsur ibadah yang muncul pada abad pertengahan, dimana para liturgis yang membawakan dalam ibadah. Pengakuan dosa sampai sekarang tetap dipai dalam gereja Protestan, walaupun memang awalnya ini dipakai oleh Roma Katolik, ada unsuunsur atau ketetapan sehingga ini tetap dipakai dalam ibadah, ada makna tersendiri dalam pengakuan dosa sebagai tanda seruan manusia kepada Tuhan, sebagai dasar pengampunan akan kejahatan manusia.

II.                Pembahasan
2.1  Pengakuan Dosa
Sejak abad ke X, terdapat kebiasaan bahwa ketika Imam sampai di mezbah, ia tunduk menyembah dan mengaku dosanya kepad Tuhan Allah. Pengakuan dosa ini disebut Confessio dan diucapkan bukan saja pada permulaan misa, melainkan juga pada saat lain, misalnya pada waktu komuni.[1] Dalam tata-tata kebaktian Lutheran, pengakuan dosa, doa dan absolusi dipakai dalam arti sebagai persiapan bersama dari pelayan dan jemaat. Dalam tata kebaktian yang dipakai di Swis dan di Strazburg, kita mendapati pengakuan dosa sebagai akta jemaat dan absolusi sebagai pemberitaan anugerah kepada pelayan dan jemaat bersama.[2] Menurut Luther dalam bukunya, Katekismus Besar, ia mengatakan bahwa pengkuan dosa itu harus timbul dari hati dan tidak bisa dipaksakan. Selain dari pada itu, orang yang merasa serba tahu, yang berbuat dengan sesuka hatinya atas kebebasan yang sudah diterimanya, yang merasa tidak perlu mengaku dosa-dosanya, mereka memang pantas untuk tetap berada di bawah kaki Paus untuk diusik serta dipaksa mengaku dosa, berpuasa dan sebagainya. Sebab barangsiapa yang tidak percaya kabar baik, tidak hidup menurut kabar baik.[3]
Dalam susunan Tata Ibadah Perjamuan Kudus yang di susun oleh Calvin, kita bisa melihat ada beberapa tatanan ibadah Katoli yang masih dipertahankan, namun dalam kemasan berbeda, seperti introitus dalam misa Katolik  dapat dilihat dalam mazmur pembukaan, Votum menggantikan tahbisan mezbah di misa katolik, sedangkan doa pengakun dosa dan pemberitaan anugerah sesudahnya mencerminkan  pengakuan dosa yang diucapkn oleh imam waktu menuju ke Mezbah. Di samping pengakuan iman secara pribadi di depan imam, ada juga pengakuan dosa secara kolektif di dalam ibadah yang sama dengan pengakuan dosa pribadi yang diakhiri dengan absolution.[4]
2.2  Pemberitaan Anugerah (Absolusi[5])
Pemberitaan anugerah, seperti yang nyata di atas, berbentuk depreaktif (permohonan). Sungguhpun demikian, pemberitaan anugerah itu disebut absolusi. Sesuai dengan kebiasaan yang dipakai dalam abad-abad pertama, tata kebaktian reformatoris menempatkan pengakuan dosa dan pemberitaan keampunan (anugerah) di dua tempat yaitu sebelum khotbah (akta pribadi dijadikan akta jemaat) atau sesudah khotbah (dipinjam dari biecht umum sebagai persiapan untuk menerima komuni). Calvin hanya memakai pengakuan dosa umum saja dan meniadakan pemberitaan kemampuan, sesungguhnyapun demikian, seperti yang ternyata kemudian dari salah satu percakapan, Calvin tetap mempunyai keyakinan bahwa pada pengakuan dosa harus ditambahkan suatu janji yang memberikan harapan kepada anggota-anggota jemaat tentang pengampunan dosa dan pendamaian.Pengakuan dosa merupakan suatu bagian  yang sangat penting dari kebaktian. Bila kita datang di hadirat Allah, sesaatpun kita tidak dapat menunggu untuk mengatakan hal yang penting yaitu bahwa kita adalah orang-orang berdosa dan bahwa dosa kita sangat menyedihkan hati kita. " Kita tidak dapat terus berjalan tanpa dosa kita diampunan oleh Tuhan Allah, Kita telah mulai dalam nama-Nya kita telah memuliakan nama itu. Rumusan yang digunakan untuk pengakuan dosa bermacam-macam bentuknya: ada yang langsung dikutip dari Alkitab (Mis. Mzm. 25; 51; 130; Yes. 59: 12-13 dan 64; Daniel 9; Rm. 7), yang disusun oleh gereja -gereja sendiri (mis, gereja calvinis, lutheran dan anglikan dll).
2.3  Kontroversi Pemberitaan Anugerah
Di beberapa tempat, seperti Geneva, timbul reaksi terhadap pemberitaan keampunan (anugerah), yang dianggap sebagai Novum[6]. Oleh sebab itu dalam Tata Kebaktian di Geneva, Calvin hanya memakai pengakuan dosa umum saja dan meniadakan pemberitaan keampunan. Namun umumnya di gereja-gereja  calvinis pemberitaan keampunan (absolusi) terus dipakai. Dalam abad XVI berlangsung suatu diskusi yang agak hebat tentang absolusi. Pada tahun 1535 terjadi kekacauan di Jemaat Lutheran di Nurnberg, karena Osiander keberatan terhadap pemakaian pengakuan dosa umum dan absolusi. Brenz berpendapat bahwa absolusi sebagai rumus khusus membahayakan firman, sebab pemberitaan firman adalah pemberitaan anugerah Allah. Diskusi in berjalan tanpa penyelesaian. Sama seperti Brenz, Sinode Nasional yang diadakan di Meiddelburg (Nederland) pada tahun1581 juga tidak menyetujui adanya absolusi dalam kebaktian. Sinode  tersebut mentapkan, “Karena pengikatan dan penguraian dosa telah berlangsung di dalam pemberitaan Firman, maka tidak perlu lagi dipakai suatu bentuk tersendiri untuk maksud itu”.[7]
Pemakaian pemberitaan anugerah bersama dengan penolakan adalah karakteristik beberapa tata kebaktian Calvinis. Gereja-gereja ini beranggapan bahwa absolusi hanya diberikan dengan syarat, hanya terdapat dalam penyesalan dan percaya. Anggapan ini didasarkan pada Mat. 16:19, 18:18 dan Yoh. 20:23.[8]
2.4  Pengertian Hukum
Mengenai persoalan tempat hukum dalam tata kebaktian adalah beberapa ahli liturgia memiliki fungsi yang berbeda-beda. Menurut Micron urutannya adalah dasa firman-pengakuan dosa-pemberitaan anugerah. Dalam hal ini, dasa firman berfungsi sebagai cermin. Menurut Calvin, urutannya adalah pengakuan dosa-pemberitaan anugerah-dasa firman. Di sini dasa  firman berfungsi sebagai puji-pujian. Lekkerker bersama ahli liturgia lainnya kebanyakan menyetujui dasa firman sebagai puji-pujian, meskipun tidak menyalahkan pendapat Micron.[9]
Hukum yang biasa dibacakan ialah dasafirman (Kel 20: 1-17). Menurut Van der leeuw, dasafirman tidak bisa dibacakan tanpa hukum (Mat 22: 37-40) sebab inti hukum yang memberikan inti yang legitim kepada dasafirman bagi umat Kristen. Bila keduanya terlampau panjang boleh dibacakan saja inti hukum. Kebanyakan para ahli liturgika lebih menyukai hukum atau dasafirman dinyanyikan sebagai puji-pujian daripada dibacakan, tetapi ada juga yang keberatan jika hal itu dinyanyikan yaitu Kuyper, kenapa ia berpendapat demikian? karna menurutnya Menyanyikan hukum kami anggap suatu kekeliruan, hal ini juga sehingga Kuyper berbeda pendapat dengan Calvin, karna hukum itu tidak saling kita nyanyikan, namun sebaliknya dalam nama Tuhan,. sebab hukum itu diperhadapkan kepada kita, sementara Calvin menyatakan bahwa hukum sebagai peraturan pengucapan syukur lebih baik ditempatkan sesudah daripada sebelum khotbah. Pembacaan hukum disambut oleh jemaat dengan puji-pujian.
           
2.4 Pengakuan Dosa, Pamberitaan Anugerah dan Hukum
Setelah rumpun panggilan berbakti (votum dan salam disertai beberapa unsur introitus) maka rumpun berikutnya adalah pengakuan dosa, pemberitaan anugerah dan petunjuk hidup baru. Yang kita perbuat dalam rumpun kedua ini adalah menyadari bahwa sebenarnya kita tidak layak menerima kebaikan Tuhan. Tuhan baru saja memanggil kita untuk beribadah. Ia mengundang kita karena kebaikanNya. Kita menyadari bahwa hubungan kita dengan Tuhan terputus, sehingga terputus dan rusak pula hubungan kita dengan orang lain. Karena itu sebelum kita meneruskan ibadah, kita berdoa mengakui ketidaklayakan kita dan memohon agar hubungan vertical dan horizontal yang rusak itu dipulihkan kembali. Tuhan menanggapi pengakuan dan permohonan tadi. Lalu pelayan liturgy membacakan pemberitaan anugerah yang rumusnya diambil dari perbendaharaan tradisi liturgi gereja atau dari ayat-ayat yang cocok. Yang diperbuat oleh liturgis bukanlah pengampunan melainkan memberitakan pengampunan.Pengampunan yang diberikan itu patut kita syukuri dengan cara menempuh hidup baru, yaitu berbalik ke arah yang baru. Sebab itu berita anugerah segera dilanjutkan dnegan petunjuk hidup baru. Seger setelah itu umat mengamini dengan berdiri dan menyanyikan pujian.[10] Setiap manusia yang beribadah adalah orang berdosa. Di dalam ibadah ia akan mengalami suatu anugerah pengampunan dosa, setelah ia mengakui  dosanya. Pengampunan dosa akan diikuti oleh petunjuk hidup baru, agar umat hidup sesuai dengan firman dan kehendak Tuhan, dan tidak melakukan dosa yang sama itu lagi, pengakuan dosa berarti manusia merendahkan diri di hadapan hadirat Allah yang kudus, lalu memohonkan anugerah dan Allah member perintah yang baru untuk dilakukan.[11]
III.              Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, kami menyimpulkan bahwa pengakuan dosa, pemberitaan anugerah dan hukum merupakan satu kesatuan di dalam liturgi. Ketiga hal ini sama pentingnya dan fungsinya saling berkaitan satu dengan yang lain. Namun, esensinya jelas berbeda-beda. Ada beberapa ahli liturgi yang pernah merumuskan urutan dari ketiga hal ini, dan dua pendapat dari Calvin dan Micron, ternyata persoalan letak juga berpengaruh terhadap fungsinya, terkhusus bagi pengakuan dosa. Dan dari apa yang sudah kami paparkan di atas, kita bisa sama-sama melihat bahwa persoalan mengenai pemberitaan anugerah  dalam ibadah pernah menimbulkan perdebatan-perdebatan dalam gereja. Ada yang berpendapat bahwa pemberitaan anugerah disatukan saja dengan pemeritaan firman, tidak harus memiliki tempat tersendiri, namun perdebatan-perdebatan tersebut hanya sebatas perdebatan, tidak menimbulkan satu penyelesaian. Oleh sebab itu, masih ada beberapa yang mempertahankan pemberitaan anugerah, namun masih ada juga yang tidak menggunakannya lagi, seperti gereja Calvinis di Jenewa. Namun secara keseluruhan mulai dari pengampunan dosa hingga hukum, semuanya mengarah kepada kemuliaan nama Tuhan dan puji-pujian terhadap kebaikan Tuhan serta sebagai wujud untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan bahwa kita adalah manusia berdosa yang hidup hanya karena anugerahNya. Dengan demikian, ketiga hal ini bisa juga dikatakan sebagai usaha kita untuk menyenangkan hati Tuhan dengan mengumandangkan kemuliaan Namanya, dan mengagungkan kebesaran kuasaNya.
IV.             Daftar Pustaka
Abineno, J. L. Ch., Unsur-Unsur Liturgia, Jakarta:BPK-GM, 2007
Luther, Marthin, Katekismus Besar, Jakarta: BPK-GM, 2007
Jonge, Ch. De, Apa Itu Calvinisme, Jakarta:BPK-GM, 2008
Maryanto, Ernest, Kamus Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 2004
 Ismail, Andar, Selamat Berbakti, Jakarta: BPK-GM, 2007

*Sumber Elektronik
Elifas Tomix Maspaitella, http://kutikata.blogspot.co.id/2009/04/makna-unsur-unsur-dalam-liturgi.html, diakses pada 14 Maret 2016 pukul 06.45.



[1] J. L. Ch. Abineno, Unsur-Unsur Liturgia, (Jakarta:BPK-GM, 2007), 17
[2] J. L. Ch. Abineno, Unsur-Unsur Liturgia, (Jakarta:BPK-GM, 2007), 19
[3] Marthin Luther, Katekismus Besar, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 230
[4]  Ch. De Jonge, Apa Itu Calvinisme (Jakarta:BPK-GM, 2008), 169
[5] Dalam Bahasa Latin disebut dengan absolution, yang berarti pengampunan, pembebasan, pelepasan. Kata absolusi dipakai dalam beberapa kegiatan liturgy dengan makna yang berbeda.
1)                   Dalam sakramen Rekonsiliasi, absolusi berarti pengampunan
2)                   Dalam perayaan Ekaristi, absolusi adalah rumusan penutup penyataan tobat
3)                   Dalam upacara pemakaman, absolusi berarti pelepasan jenazah atau perpisahan dengan almarhum/almarhumah.
(Ernest Maryanto, Kamus Liturgi,hlm. 7)
[6] Kata Novum terdapat dalam kalimat “Novum Testamentum Greace”(Wikipedia) yang artinya Perjanjian Baru. Dalam istilah hukum, kata novum  berarti bukti baru atau keadaan baru yang digunakan sebagai syarat untuk melakukan peninjauan terhadap suatu kasus hokum (Adami Chazawi, Kompasiana 27 Mei 2012). Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Novum adalah sesuatu yang baru.
[7] J. L. Ch. Abineno, Unsur-Unsur Liturgia, (Jakarta:BPK-GM, 2007), 21.
[8] J. L. Ch. Abineno, Unsur-Unsur Liturgia, (Jakarta:BPK-GM, 2007), 22-23
[9] J. L. Ch. Abineno, Unsur-Unsur Liturgia, (Jakarta:BPK-GM, 2007), 29-30
[10] Andar Ismail, Selamat Berbakti, (Jakarta: BPK-GM, 2007),  49-51.
[11] Elifas Tomix Maspaitella, http://kutikata.blogspot.co.id/2009/04/makna-unsur-unsur-dalam-liturgi.html, diakses pada 14 Maret 2016 pukul 06.45.

7 komentar:

  1. Nama Kelompok IV : Jhoni Pranata Purba
    Roles Paringatan Purba
    Sri Muliana br Kaban
    Tribina Meisana br Ginting

    Kami dari penanggap kelompok IV kepada kelompok II,
    Yang kami dapatkan dari bahan sajian Liturgika kali ini adalah
    1. Pengakuan Dosa
    Pengakuan Dosa terbagi dua, yaitu pengakuan dosa secara pribadi dan pengakuan dosa secara kolektif dalam ibadah bersama. Dan pengakuan dosa itu harus berasal dari hati.
    2. Pemberitaan Anugerah
    Pemberitaan anugerah berbentuk depreaktif (permohonan) yang disebut absolusi. Sesuai dengan kebiasaan yang dipakai dalam abad-abad pertama, tata kebaktian reformatoris menempatkan pengakuan dosa dan pemberitaan keampunan (anugerah) di dua tempat yaitu sebelum khotbah (akta pribadi dijadikan akta jemaat) atau sesudah khotbah (dipinjam dari biecht umum sebagai persiapan untuk menerima komuni).
    3. Hukum
    Hukum yang biasa dibacakan ialah dasafirman (Kel 20: 1-17). Menurut Van der leeuw, dasafirman tidak bisa dibacakan tanpa hukum (Mat 22: 37-40) sebab inti hukum yang memberikan inti yang legitim kepada dasafirman bagi umat Kristen.
    4. Ketiga unsur liturgika ini memiliki perbedaan dalam penerapannya dan tata letaknya dalam ibadah.
    Yang kami kritiki adalah
    1. Pada poin Pengakuan dosa kami melihat belum ditemukan landasan teologi mengapa Pengakuan dosa itu perlu dalam ibadah orang Kristen. Tujuan dari pengakuuan dosa juga belum terlihat jelas.
    2. Dalam point pemberitaan anugerah belum terlalu jelas dijelaskan dimana penjelasan yang diberikan oleh penyaji adalah kebanyakan pengakuan dosa.
    3. Dalam point dasa hukum. Kami melihat belum jelas melihat bagaimana sebenarnya penerapan dasa hukum ini di beberapa gereja. Atau gereja yang bagaimana saja yang mengikutkan unsur ini dalam liturginya. Contohnya GBKP yang beraliran Calvinis.
    4. Masih banyak salah oengetikan termasuk judul
    Yang menjadi pertanyaan kami,
    1. Dimanakah posisi saat teduh (paksa teneng) diantara ketiga point ini? Apakah itu termasuk pengkauan dosa?
    2. Apakah pengakuan dosa secara umum yang sudah tertulis di tata ibadah yang dilakukan disaat ibadah itu masih relevan? Bukankah beda dosa yang dilakukan setiap orang itu berbeda pergumulannya?
    3. Bisakah pengakuan dosa diganti dengan nyanyian?
    Kontribusi penanggap sebagai analisa :
    1. Pengakuan Dosa : Doa pengakuan dosa adalah doa pengakuan dosa di hadapan Allah yang mana umat mengakui segala keterbatasan, kelemahan, kepapaan, dan ketidaksempurnaan manusia dan gerejaNya dalam melakukan kehendak Allah.
    2. Pemberitaan anugerah: Berita anugerah merupakan pernyataan anugerah pengampunan dosa terhadap umat yang didasarkan pada karya penebusan Kristus di atas kayu salib.jadi pusatnya harus tetap Yesus Kristus sebagai karya yang nyata. Pemeberitaan Anugerah megantarkan manusia sebagai orang berdosa kepada kelayakan untuk menerima Firman dan berkat Allah, sebab manusia berdosa setiap hari, dan hanya oleh anugerah Allah kita di selamatkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Sebagai teman yang baik yang selalu memperhatikan temannya dan memberi koreksi atau masukan untuk kebaikan bersama. Berdasarkan kritikan saudara pembahas di point 4 mengenai salah pengetikan, memang benar masih banyak penyaji salah dalam pengetikan ya, tapi saudari Sri sendiri juga masih salah dalam pengetikan kritikannya tepatnya di kata (oengetikan, yang seharusnya saudara mau mengatakan pengetikan) mari kita saling memeriksa satu sama lain agar tulisan kita kedepan lebih baik lagi terima kasih teman.

      Hapus
    3. trimakasih Uten Marbun, menerima kritikan dan memberi masukan pastilah akan sangat membangun bagi kita semua terkhusus dalam meningkatkan kedisiplinan kita dalam hal penulisan. salam kelompok 4.

      Hapus
  2. 3. Hukum : Melalui pembacaan Hukum Taurat, umat diingatkan akan tanggung jawab orang percaya dalam hidup sehari-hari secara vertikal maupun secara horizontal supaya seturut dengan kehendak Allah. Hukum Taurat itu dibacakan sebagai “cermin” bagi umat yaitu bagaimana sikap perilaku orang percaya kepada Tuhan dan kepada sesama manusia, sebagai wujud kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia, (Ul. 6: 3-9, Mat.22: 36-39). Dasafirman mempunyai fungsi sebagai cermin, yang menyatakan kepada kita “betapa besar dan betapa seringnya kita telah menjadikan Tuhan Allah murka oleh dosa-dosa kita”. Oleh karena itu dasafirman ditempatkan sebelum Pengakuan Dosa – Janji Pengampunan Dosa. Berbeda dari Calvin, dia berpendapat bahwa dasafirman berfungsi sebagai puji-pujian. Oleh karena itu dasafirman ditempatkan setelah Pengakuan Dosa-Janji Pengampunan Dosa.Oleh karena itu setiap beribadah umat diingatkan bagaimana sikap perilakunya: adakah sesuatu yang sudah dilakukan yang berkenan kepada Allah? adakah pelanggaran-pelanggaran yang diperbuat secara sadar atau tidak? Oleh karena itu pembacaan Hukum Taurat dalam ibadah berfungsi untuk menjadi pemelihara dan cermin dalam kehidupan dihadapan Allah.

    BalasHapus
  3. oke,Trmakasih kepada kak Uten....
    kelompok 4.

    BalasHapus
  4. Kepada semua mahasiswa-i saya beritahukan, hari ini Sabtu, 09 April 2016, pikul 15.00 wib sore, ruang komen topik bahasan ini resmi saya tutup.

    Terimakasih bagi saudara-i yang sudah memberikan komen-nya, dan tetaplah memberikan komen di sajian-sajian berikutnya, hingga sampai sajian ke-7 nantinya, salam.

    BalasHapus