Nama :
Bona Putra Purba
Hendi Purba
Johanes Purba
Keresi Perbinta Tarigan
Septaria Simanjorang
Tingkat / Jurusan :
I-B/Theologi
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar (IBD)
Dosen : Pdt. Edward S. Sinaga M. Th
Humanisme Religius
dan Nasionalisme Terbuka, Faham Dasar Pendidikan Manguwijaya
I.
Pendahuluan
Pada pertemuan kali ini kita akan
berbicara bagaimana humanisme religius dan nasionalisme yang terbuka. Semoga
sajian kali ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita Tuhan Yesus memberkati.
II.
Pembahasan
1.
Humanisme Religius
Ada dua sikap menghadapi humanisme yaitu
: sikap optimistis dan sikap pesimistis. Sikap optimistis dicerminkan misalnya
oleh sebuah simposium, yang diselengarakan oleh Fons Elders(Humanism Toward the Third Millenium,1993)
sejak runtuhnya tembok Berlin 1998. Forum ini menyadari adanya keragaman budaya
di satu pihak dan ketergantungan satu sama lain di lain pihak, maka Forum 2001
mengupayakan kerja sama mencari titik temu dalam berbagai hal. Simposium
pertama diselengarakan di Tempoi Pausiana,1992, menelurkan gagasan ke depan
tentang humanisme baru.
Dari lain
pihak ada pesimisme seperti digambarkan
Francis Fukuyama dalamThe End of History
and the last man (1992) yang mengimunisasikan, tidak adanya lagi harapan
akan kebaruan dalam proskek kemanusiaan, meski pun diktator-diktator sudah
tumbang satu demi satu, dan totalitarianisme (komunisme) hancur oleh
perkembangan “masyarakat warga” (civil
society) pembaharuan politik ada dimana-man perestorika di rusia dan demokrasi
barat,namun menurut fukuyama, sejarah berkhir dengan bentuk demokrasi liberal
dan ekonomi kapitalis
Pendidikan
selalu bertolak dari humanisme kiranya bukan hal yang asing. Driyarkara
mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk “pemanusiaan manusia”, melalui
proses “humanisasi” dan “homanisasi” atau dengan ringkasan disebut sebagai humaniora. Riligius di sini tidak harus
diartikan sebagai pemeluk agama tertentu, melainkan adanya kecenderungan dan
kesadaran akan yang ilahi, yang mengatasi kekecilan manusia atau rasa
kemakhlukan atau rasa ketergantungan pada sesuatu yang lain.
Lebih
lanjut religiositas yang melebar ini ia tunjukan dalam keinginanya untuk
bekerjasama dengan agama lain.
2.
Nasionalisme yang Terbuka
Humanisme
Romo Mangun bukanlah ideologi universal yang abstrak, melainkan mempunyai akar
juga pada ke Indonesiaan dan nasionalisme yang konkret, tanpa harus jatuh pada
chauvinism, yang sering dikutipnya sebagai moto Britania Raya (Jenderal Lois
Mountbatten), right or wrong my country
(Mangunwijaya, 1999c : 87. 114), atau xenophobia
(anti-orang asing/negara asing);
karena dalam pemikirannya, nasionalisme ini nantinya harus berkembang
menjadi Pasca-Indonesia.
Untuk
memulai akar nasionalisme ini, pokok kedua yang bisa dielaborasi adalah
keyakinan Romo Mangun pada keunggulan angkatan 1928, yang dia bedakan dari
angkatan lain, tetapi terutama angkatan 1945. Menurut Romo Mangun generasi 1928
merupakan arketipe generasi pembaharu, dengan munculnya intelektual,
pemikir-pemikir nasionalis, yang menelorkan “Sumpah Pemuda”, di Belanda para
mahasiswa Indonesia mendirikan “Perhimpunan Indonesia”, di Indonesia sendiri
muncul dua kelompok studi, indonesische
studie club di Surabaya yang
didirikan oleh Dr. Soetomo, Algemene studie club di bandung dipimpin oleh
soekarno ; dan sesudah munculnya partai-partai politik sejak 1912, mereka
menggalang “Permufakatan Perkumpulan-perkumpulan politik kebangsaan Indonesia”
(PPKI).
Corak
intelektual adalah kemampuan berpikir kritis dan berani, berpandangan luas dan
universal, mampu berwacana dan berdiplomasi, menghasilkan gagasan-gagasan
pembaruan yang segar. Ini sangat berbeda dari generasi intelektual yang lahir
20 tahun kemudian, yang mulai berani berpolitik dan memunculkan kesadaran
nasional Indonesia. Kebanyakan “priayi baru”, intelektual golongan ini
adalah lulusan dokter dan guru, yang
dari sifat pekerjaannya memang lebih mandiri dan mempunyai kebebasan bergerak
dan pergaulan dengan masyarakat luas, daripada para pegawai pemerintah
(ambtenaar) atau pegawai perusahaan. Oleh karena itu, menurut Romo Mangun
angkatan 1928, merupakan angkatan yang lebih dekat orientasinya dengan semangat
Pasca-Indonesia, yang melebar dan terbuka ini dibandingkan dengan angkatan 1945
atau 1965 (Mangunwijaya 1999c : 46).
3. Prospek Pendidikan : Manusia Pasca-Indonesia
Untuk
mencari dasar-dasar humanism untuk millennium ketiga, Mohammed Arkoun,
professor Sorbonne kelahiran Aljazair, dalam Forum 2001 membedakan dua maacam
negara secular Eropa. Dalam penjelasannya Arkoun menyatakan bahwa negara
“sekuler pluralis” seperti Belanda (sich) menjaga “masyarakat warga” (civil
society) dan menjamin kebebasan semua orang. Hal demikian dimungkinkan karena
negara sudah mapan dan mempunyai pengalaman kebebasan yang panjang. “ideology kebebasan”
(The ideology of Liberation) semacam ini belum bisa diharapkan dari masyarakat
Timur Tengah, karena mereka baru saja mengalami kebebasan dari penjajahan.
Daalam
Forum 2001 itu pula Andrei Plesu, professor sejarah politik dan agama dari
Romania menambahkan bahwa retorika humanism dewasa ini didominasi pemikiran
Barat Eropa, seolah-olah ide mereka merupakan satu-satunya yang harus dicapai. Humanisme
semacam itu, kata plesu, adalah humanisme abstrak, impersonal, yang tak
mempunyai karakter-karakter khas dari berbagai komunitas. Pandangan ini mirip
dengan kritik Romo mangun terhadap kesimpulan Francis Fukuyama, tentang
demokrasi liberas dan ekonomi kapitalis, sebagai akhir dari sejarah manusia.
Plesu setuju dengan arkon tentang negara “sekuler pluralis”, tetapi menambahkan
bahwa humanism harus mempunyai sikap yang jelas terhadap agama. Ada dua
kemungkinan, humanism bisa menolak agama yang dogmatis dan absolutis, dan
humanism bisa menyesuaikan diri dengan agama. Kedua posisi ini layak
didiskusikan, terkait juga dengan konsep mereka tentang agama, sebab jika
mereka menolak agama, sulit semua pemeluk agama mempunyai konsep sendiri dan
ingin merumuskan “agama” menurut perspektif penghayatannya sendiri. Akan
tetapi, yang jelas mereka menolak jikalau humanism justru menjadi inti agama,
atau menjadi “agama” itu sendiri. Humanisme memang harus menentukan sikap
terhadap agama, tetapi tidak bisa menggantikannya.
Persoalan
humanisme yang mencuat dalam system politik atau pengaturan negara ini pun
menjadi topic perdebatan yang panas dari Bapa Bangsa pendiri negara kita di
awal kemerdekaan, Dan pancasila adalah hasil finalnya, di mana “humanism”
terumuskan dalam sila ke dua dan sikap terhadap “agama” dirumuskan dalam sila
pertama.
Inilah persoalan yang tak bisa dihindari dan menjadi
kepedulian Romo Mangun juga dalam mengidealkan pendidikan.
Dalam salah
satu karangan yang panjang dalam majalah Basis (Januari-Februari, nomor 47,
1998) Romo Mangun mengutarkan gagasannya tentang pendidikan yang cukup
komprehensif, yang secara ringkas boleh dirumuskan, bahwa pendidikan yang cukup
komprehensif, yang secara ringkas boleh dirumuskan, bahwa pendidikan itu
bersifat multidimensional, berdimensi banyak.
a.
Pendidikan haruslah bersifat terbuka kea rah masa
depan, mencerahkan dan mengembangkan kebaruan, melawaan status quo atau
reproduksi dan penerusan ide-ide lama, yang oleh Romo Mangun disebut sebagai
sekadar “sosialisasi”, sebagaimana dianut kaum feudal dan Orde Baru. Bercermin
dari angkatan 1928.
b.
Pendidikan harus mencerdaskan kehidupan dengan member
kebebasan pada para anak didik. Mereka bukan “tabula rasa” yang harus diisi dengan
komandan, pendiktean, pendisiplinan top-down gaya militer. Romo Mangun banyak
mengkritik program pemerintah yang bersifat penyeragaman, brainwashing, formal,
dan birokratis dan kurang member ruang bagi kreativitas anak didik dan
menekankan kreativitas, eksplorasi, penyadaran dan pengaturan diri. Untuk itu.
c.
Perlu perbaikan
sisttem pendidikan, hubungan guru-murid harus diperbaiki dalam situasi
kekeluargaan dan hidup bersama (convivium), pola pendidikan harus member lebih
banyak peluang untuk anak didik dalam mengungkapkan pengalaman mereka, membina
kerja sama (dan bukan persaingan) dalam kelompok.
Akhirnya, seluruh kepentingan
unsur dan dimensi pendidikan yang mengarah kedepan ini dapat direngkuh dalam
kerangka besar yang sesuai dengan pandangan tentang manusia Indonesia, yang
sudah dijelaskan, yakni humanism religious dan nasionalime yang terbuka. Dalam
dua kerangka besar inilah Indonesia bisa ikut menyumbangkan pemikiran dalam
pergaulan dunia yang luas, sebagaimana dicita-citakan oleh Romo Mangunwijaya
almarhum.
III.
Kesimpulan
IV.
Analisa
V.
Daftar
Pustaka
Kami dari kelompok 4 memberikan tanggapan dan pertanya dari bahasan kelompok 1 tentang “ Humanisme Religius, dan Nasionalisme yang Terbuka”. Ada pun tanggapan yang kami cantumkan yaitu:
BalasHapus1. Humanisme Religius
menurut Mery Ariansyah Istilah pendidikan humanis religious mengandung dua konsep pendidikan yang ingin diintegrasikan yaitu “pendidikan humanis” dan “pendidikan religious”. Humanisme berasal dari bahasa Latin humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia.Humanisme diartikan sebagai paham yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia.
Sedangkan pengertian religius atau religion berasal dari kata relegere dalam bahasa Latin. Artinya berpegang kepada norma-norma. Sedangkan religius yang dimaksud di sini sangat terkait dengan nilai keagamaan yang terkait dengan hubungan dengan Tuhan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Religius juga berakar pada ketuhanan yang selalu dikaitkan dengan amal atau perbuatan manusia untuk mencapai tujuan manusia itu sendiri.
2. Nasionalisme yang Terbuka
Nasionalisme merupakan perasaan satu keturunan, senasib, sejiwa dengan bangsa dan tanah airnya. Nasionalisme yang dapat menimbulkan perasaan cinta kepada tanah air disebut patriotisme.
Nasionalisme dibedakan menajdi dua yaitu :
a. Nasionalisme dalam arti luas yaitu perasaan cinti / bangga terhadap tanah air dan bangsanya dengan tidak memandang bangsa lain lebih rendah derajatnya.
b. Nasionalisme dalam arti sempit yaitu perasaan cinta/bangga terhadap tanah air dan bangsanya secara berlebihan dengan memandang bangsa lain lebih rendah derajatnya.
Seperti yang kita ketahui bahwa kebanyakan warga Negara Indonesia sekarang sudah lupa dengan sistem kepemerintahanya sendiri. Kita bisa ambil contoh sebuah kasus penyanyai dangdut saskia gotik yang salah menyebutkan lambang-lambang pancasila baru-baru ini. Dari sini bisa kami simpulkan bahwa warga Negara Indonesia masih ada yang kurang menghargai Negaranya sendiri. Dengan demikian Mangunwijaya menjelasakn tentang nasionalisme yang terbuka faham dasar pendidikan.
Yang menjadi pertnyaan kami buat penyaji adalah, kenapa Humanisme Religius dan Nasionalisme Terbuka menjadi Faham Dasar Pendidikan oleh Manguwijaya??
Syalom, Tuhan Memberkati.
Nama : Bona Putra Purba
BalasHapusHendi Purba
Johanes Purba
Keresi Perbinta Tarigan
Septaria Simanjorang
Tingkat / Jurusan : I-B/Theologi
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar (IBD)
Dosen : Pdt. Edward S. Sinaga M. Th
Humanisme Religius dan Nasionalisme Terbuka, Faham Dasar Pendidikan Manguwijaya
I. Pendahuluan
Pada pertemuan kali ini kita akan berbicara bagaimana humanisme religius dan nasionalisme yang terbuka. Semoga sajian kali ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita Tuhan Yesus memberkati.
II. Pembahasan
2.1. Humanisme Religius
Ada dua sikap menghadapi humanisme yaitu : sikap optimistis dan sikap pesimistis. Sikap optimistis dicerminkan misalnya oleh sebuah simposium, yang diselengarakan oleh Fons Elders(Humanism Toward the Third Millenium,1993) sejak runtuhnya tembok Berlin 1998. Forum ini menyadari adanya keragaman budaya di satu pihak dan ketergantungan satu sama lain di lain pihak, maka Forum 2001 mengupayakan kerja sama mencari titik temu dalam berbagai hal. Simposium pertama diselengarakan di Tempoi Pausiana,1992, menelurkan gagasan ke depan tentang humanisme baru.
Dari lain pihak ada pesimisme seperti digambarkan Francis Fukuyama dalamThe End of History and the last man (1992) yang mengimunisasikan, tidak adanya lagi harapan akan kebaruan dalam proskek kemanusiaan, meski pun diktator-diktator sudah tumbang satu demi satu, dan totalitarianisme (komunisme) hancur oleh perkembangan “masyarakat warga” (civil society) pembaharuan politik ada dimana-man perestorika di rusia dan demokrasi barat,namun menurut fukuyama, sejarah berkhir dengan bentuk demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis
Pendidikan selalu bertolak dari humanisme kiranya bukan hal yang asing. Driyarkara mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk “pemanusiaan manusia”, melalui proses “humanisasi” dan “homanisasi” atau dengan ringkasan disebut sebagai humaniora. Riligius di sini tidak harus diartikan sebagai pemeluk agama tertentu, melainkan adanya kecenderungan dan kesadaran akan yang ilahi, yang mengatasi kekecilan manusia atau rasa kemakhlukan atau rasa ketergantungan pada sesuatu yang lain.
Lebih lanjut religiositas yang melebar ini ia tunjukan dalam keinginanya untuk bekerjasama dengan agama lain.
BalasHapus2.2. Nasionalisme yang Terbuka
Humanisme Romo Mangun bukanlah ideologi universal yang abstrak, melainkan mempunyai akar juga pada ke Indonesiaan dan nasionalisme yang konkret, tanpa harus jatuh pada chauvinism, yang sering dikutipnya sebagai moto Britania Raya (Jenderal Lois Mountbatten), right or wrong my country (Mangunwijaya, 1999c : 87. 114), atau xenophobia (anti-orang asing/negara asing); karena dalam pemikirannya, nasionalisme ini nantinya harus berkembang menjadi Pasca-Indonesia.
Untuk memulai akar nasionalisme ini, pokok kedua yang bisa dielaborasi adalah keyakinan Romo Mangun pada keunggulan angkatan 1928, yang dia bedakan dari angkatan lain, tetapi terutama angkatan 1945. Menurut Romo Mangun generasi 1928 merupakan arketipe generasi pembaharu, dengan munculnya intelektual, pemikir-pemikir nasionalis, yang menelorkan “Sumpah Pemuda”, di Belanda para mahasiswa Indonesia mendirikan “Perhimpunan Indonesia”, di Indonesia sendiri muncul dua kelompok studi, indonesische studie club di Surabaya yang didirikan oleh Dr. Soetomo, Algemene studie club di bandung dipimpin oleh soekarno ; dan sesudah munculnya partai-partai politik sejak 1912, mereka menggalang “Permufakatan Perkumpulan-perkumpulan politik kebangsaan Indonesia” (PPKI).
Corak intelektual adalah kemampuan berpikir kritis dan berani, berpandangan luas dan universal, mampu berwacana dan berdiplomasi, menghasilkan gagasan-gagasan pembaruan yang segar. Ini sangat berbeda dari generasi intelektual yang lahir 20 tahun kemudian, yang mulai berani berpolitik dan memunculkan kesadaran nasional Indonesia. Kebanyakan “priayi baru”, intelektual golongan ini adalah lulusan dokter dan guru, yang dari sifat pekerjaannya memang lebih mandiri dan mempunyai kebebasan bergerak dan pergaulan dengan masyarakat luas, daripada para pegawai pemerintah (ambtenaar) atau pegawai perusahaan. Oleh karena itu, menurut Romo Mangun angkatan 1928, merupakan angkatan yang lebih dekat orientasinya dengan semangat Pasca-Indonesia, yang melebar dan terbuka ini dibandingkan dengan angkatan 1945 atau 1965 (Mangunwijaya 1999c : 46).
Prospek Pendidikan : Manusia Pasca-Indonesia
BalasHapusUntuk mencari dasar-dasar humanism untuk millennium ketiga, Mohammed Arkoun, professor Sorbonne kelahiran Aljazair, dalam Forum 2001 membedakan dua maacam negara secular Eropa. Dalam penjelasannya Arkoun menyatakan bahwa negara “sekuler pluralis” seperti Belanda (sich) menjaga “masyarakat warga” (civil society) dan menjamin kebebasan semua orang. Hal demikian dimungkinkan karena negara sudah mapan dan mempunyai pengalaman kebebasan yang panjang. “ideology kebebasan” (The ideology of Liberation) semacam ini belum bisa diharapkan dari masyarakat Timur Tengah, karena mereka baru saja mengalami kebebasan dari penjajahan.
Daalam Forum 2001 itu pula Andrei Plesu, professor sejarah politik dan agama dari Romania menambahkan bahwa retorika humanism dewasa ini didominasi pemikiran Barat Eropa, seolah-olah ide mereka merupakan satu-satunya yang harus dicapai. Humanisme semacam itu, kata plesu, adalah humanisme abstrak, impersonal, yang tak mempunyai karakter-karakter khas dari berbagai komunitas. Pandangan ini mirip dengan kritik Romo mangun terhadap kesimpulan Francis Fukuyama, tentang demokrasi liberas dan ekonomi kapitalis, sebagai akhir dari sejarah manusia. Plesu setuju dengan arkon tentang negara “sekuler pluralis”, tetapi menambahkan bahwa humanism harus mempunyai sikap yang jelas terhadap agama. Ada dua kemungkinan, humanism bisa menolak agama yang dogmatis dan absolutis, dan humanism bisa menyesuaikan diri dengan agama. Kedua posisi ini layak didiskusikan, terkait juga dengan konsep mereka tentang agama, sebab jika mereka menolak agama, sulit semua pemeluk agama mempunyai konsep sendiri dan ingin merumuskan “agama” menurut perspektif penghayatannya sendiri. Akan tetapi, yang jelas mereka menolak jikalau humanism justru menjadi inti agama, atau menjadi “agama” itu sendiri. Humanisme memang harus menentukan sikap terhadap agama, tetapi tidak bisa menggantikannya.
Persoalan humanisme yang mencuat dalam system politik atau pengaturan negara ini pun menjadi topic perdebatan yang panas dari Bapa Bangsa pendiri negara kita di awal kemerdekaan, Dan pancasila adalah hasil finalnya, di mana “humanism” terumuskan dalam sila ke dua dan sikap terhadap “agama” dirumuskan dalam sila pertama.
BalasHapusInilah persoalan yang tak bisa dihindari dan menjadi kepedulian Romo Mangun juga dalam mengidealkan pendidikan.
Dalam salah satu karangan yang panjang dalam majalah Basis (Januari-Februari, nomor 47, 1998) Romo Mangun mengutarkan gagasannya tentang pendidikan yang cukup komprehensif, yang secara ringkas boleh dirumuskan, bahwa pendidikan yang cukup komprehensif, yang secara ringkas boleh dirumuskan, bahwa pendidikan itu bersifat multidimensional, berdimensi banyak.
a. Pendidikan haruslah bersifat terbuka kea rah masa depan, mencerahkan dan mengembangkan kebaruan, melawaan status quo atau reproduksi dan penerusan ide-ide lama, yang oleh Romo Mangun disebut sebagai sekadar “sosialisasi”, sebagaimana dianut kaum feudal dan Orde Baru. Bercermin dari angkatan 1928.
b. Pendidikan harus mencerdaskan kehidupan dengan member kebebasan pada para anak didik. Mereka bukan “tabula rasa” yang harus diisi dengan komandan, pendiktean, pendisiplinan top-down gaya militer. Romo Mangun banyak mengkritik program pemerintah yang bersifat penyeragaman, brainwashing, formal, dan birokratis dan kurang member ruang bagi kreativitas anak didik dan menekankan kreativitas, eksplorasi, penyadaran dan pengaturan diri. Untuk itu.
c. Perlu perbaikan sisttem pendidikan, hubungan guru-murid harus diperbaiki dalam situasi kekeluargaan dan hidup bersama (convivium), pola pendidikan harus member lebih banyak peluang untuk anak didik dalam mengungkapkan pengalaman mereka, membina kerja sama (dan bukan persaingan) dalam kelompok.
Akhirnya, seluruh kepentingan unsur dan dimensi pendidikan yang mengarah kedepan ini dapat direngkuh dalam kerangka besar yang sesuai dengan pandangan tentang manusia Indonesia, yang sudah dijelaskan, yakni humanism religious dan nasionalime yang terbuka. Dalam dua kerangka besar inilah Indonesia bisa ikut menyumbangkan pemikiran dalam pergaulan dunia yang luas, sebagaimana dicita-citakan oleh Romo Mangunwijaya
almarhum.
III. Analisa
BalasHapusSampah dan Pendidikan Kita
Selasa, 22 Maret 2016 | 16:18 WIB
Shares
KOMPAS.com/DENDI RAMDHANI
Salah seorang warga saat melihat tumpukan sampah di Sungai Citepus, Desa Cangkuang Wetan, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Senin (14/3/2016)
Terkait
Oleh: Hasanudin Abdurakhman
Ridwan Kamil mati-matian membantah soal sampah di sungai Cikapundung. “Tidak ada bukti bahwa itu sampah dari berasal dari Bandung,” katanya.
Kelakuannya sama dengan Ahok. Ketika aparatnya menemukan kulit kabel yang menyumbat got, ia langsung menuduh itu sabotase. Usut punya usut, ternyata itu sampah lama yang belum pernah dibersihkan oleh aparat Pemda DKI.
Keduanya memberikan pendidikan buruk kepada masyarakat, berupa contoh pemimpin yang suka berdalih, alias ngeles, menolak persoalan. Dalam bahasa Inggris disebut denial.
Kehebatan pemimpin tidak sekedar terletak pada kemauannya untuk bekerja keras menyelesaikan persoalan masyarakat, tapi juga pada kemauannya untuk mengakui kekurangannya.
Soal sampah, ada begitu banyak hal yang harus kita kerjakan. Persoalannya panjang, dari hulu sampai ke hilir, persis sama seperti panjangnya perjalanan sampah itu dari hulu sungai hingga ke muara. Itupun bukan akhir perjalanan. Ia kemudian akan mengotori lautan.
BalasHapusBeberapa kali saya membawa anak-anak main ke daerah hulu sungai. Saya sungguh suka dengan sungai. Suara gemercik arus air, beningnya air, di tengah suasana teduh dan sejuk di bawah rimbunnya pepohonan sungguh mendamaikan hati.
Namun, hampir pada setiap kesempatan kedamaian itu terusik oleh sampah. Ya, sampah-sampah, khususnya sampah plastik sudah kita temukan sejak di tengah gunung, di hulu sungai.
Bagian hulu dari persoalan sampah kita adalah pendidikan. Dengan sedih saya harus katakan bahwa rakyat bangsa ini tidak mendapat pendidikan memadai soal sampah. Bahkan untuk sekedar soal cara membuang sampah saja pun kita tidak dididik.
Tapi, bukankah dalam berbagai mata pelajaran kita diajarkan untuk membuang sampah dengan benar? Ya, dan itulah masalah fundamental pada pendidikan kita. Pendidikan kita hanya membuat kita tahu, tapi tidak mengubah laku.
Dalam keseharian kita sangat sering melihat orang buang sampah sembarangan. Dalam pandangan saya, dunia kita itu dipenuhi oleh zombie pembuang sampah.
Sering saya perhatikan wajah orang yang membuah sampah sembarangan itu, dan tidak saya temukan raut rasa bersalah. Sepertinya gerakan tangan mereka waktu membuang sampah itu memang tidak dikendalikan oleh otak.
Yang lebih miris adalah pemandangan di sekolah. Pernah suatu hari saya hadir di sekolah anak saya. Hari itu ada olimpiade, pertandingan antar sekolah di bawah yayasan yang mengelola sekolah, menghadirkan sekolah-sekolah di bawah yayasan itu dari seluruh Indonesia.
Ada ratusan guru dan siswa yang hadir. Setiap orang makan dan minum, lalu membuang sampah begitu saja di tempat mereka duduk atau berdiri. Dalam sekejap halaman sekolah berubah menjadi lautan sampah.
BalasHapusTempat sampah disediakan di sana sini, tapi jumlahnya tak cukup. Selain itu, masalah utamanya terletak pada manusia-manusia yang memang tak terlatih membuang sampah dengan benar.
Di lain waktu ada acara lagi, walau skalanya hanya sekedar internal sekolah itu. Kejadian yang sama terulang, orang-orang membuang sampah sembarangan. Saya minta guru yang jadi panitia untuk memberi perhatian soal ini. Iya, pak, jawabnya.
Lalu ia mengumumkan,”Anak-anak, mohon agar tidak membuang sampah sembarangan.” Sudah. Seruan itu berlalu begitu saja.
Tak tahan lagi saya. Saya seret sebuah tempat sampah besar yang tadinya diletakkan di tempat yang tidak terlihat, saya bawa ke tengah arena acara. Lalu saya mulai memunguti sampah-sampah, memasukkannya ke tempat sampah.
Orang-orang di sekitar mulai tersadar lalu tergerak untuk membuang sampah mereka ke tempat sampah itu.
Dalam pertemuan dengan guru-guru saya sampaikan kritik secara terbuka kepada kepala sekolah. Ia berjanji akan memperhatikan. Kini kalau ada acara di sekolah, pihak sekolah menyiagakan sejumlah tukang pungut sampah! Luar biasa.
Persoalan pendidikan kita adalah soal pemahaman terhadap pendidikan itu sendiri, yang direduksi menjadi sekedar pengajaran. Itu terjadi baik di rumah maupun sekolah. Anak-anak kita diajari untuk tahu, bukan untuk terampil.
Anak-anak kita tahu bahwa sampah harus dibuang pada tempatnya, tapi tidak terampil dalam membuang sampah. Tangan-tangan mereka tidak dibiasakan untuk membuang sampah dengan benar, maka yang menjadi kebiasaan adalah hal sebaliknya, membuang sampah sembarangan.
Anak-anak kita dilatih untuk menjadi para pelafal dan penghafal, bukan pelaku.
Analisa
BalasHapusDari paparan diatas dapat kami analisa bahwa sampah dan pendidikan sangat berkaitan dengan erat, sampah banyak yang dianggap sepele tentang hal itu. Apabila anak anak sudah tidak perduli dengan tumpukan sampah bagaimana bangsa ini kelak. Seharusnya anak anak sudah diberi pendidikan yang cukup untuk memelihara lingkungan dari sampah, bagaimana cara membuang sampah secara tidak sembarangan, terutama diselokan rumah maupun sekolah.
Orang tua juga memberikan pendidikan yang cukup kepada anak agar memelihara lingkungan dengan baik mulai dari pendidikan dasar yaitu keluarga dan pendidikan eksternal sekolah maupun lingkungan, dan menuru pendapat Romo Mangunwijaya yaitu “pemanusian manusia” dapat kami analisa dengan mengajarkan pendidikan akan akibat buruknya pembuangan sampah sembarangan sudah termasuk kedalam salah satu cara memanusiakan manusia, terkhususnya orang muda zaman sekarang.
IV. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas kami para penyaji dapat menyimpulkan bahwa Romo Mangunwijaya menghayati paham kemanusiaan yang menjadi dasar dari paham pendidikannya. Keyakinan Romo Mangun mengatakan bahwa setiap sistem pendidikan ditentukan oleh filsafat tentang manusia dan citra-manusianya yang dianut, sehingga tidak pernah netral, maka visi seseorang tentang manusia, sangat menentukan visi pendidikannya.
V. Daftar Pustaka
a. Sumber Buku
Forum Mangunwijaya IX, Humanisme Y.B, Mangunwijaya, Jakarta: KOMPAS, 2015
b. Sumber elektronik
http://edukasi.kompas.com/read/2016/03/22/16180291/Sampah.dan.Pendidikan.Kita
Arnold Brahmana
BalasHapus1-D/Theologi
15.01.1218
Pembahasan hari ini (01/04) cukup "menantang" sebenarnya, namun saya merasa dari pembahasan kelompok-kelompok yang presentasi kurang up to date dengan isu-isu hangat saat ini.
Sederhana saja, bicara mengenai humanisme religius, nasionalisme yang terbuka dan pendidikan, sebenarnya itu adalah hal personal sebagai hak kita sebagai manusia. Jika mau maju, lakukan, jika merasa "nyaman" pertahankan, dan jika merasa kurang puas, lakukan apa yang anda rasa bisa diluar ekspetasi.
Dan melanjutkan hal itu, sejenak mari kita lihat nasib saudara-saudari kita yang saat ini di sandera oleh perompak dari Filipina yaitu kelompok Abu Syaaf. Bagaimana aksi kita terhadap hal itu? Dimana letak humanisme yang religius? Dimana letak nasionalisme yang terbuka?
Malah menurut saya, permasalahan yang menimpa artis dangdut ZG tidaklah sebuah masalah besar. Mengapa? Anda harus tahu terlebih dahulu bagaimana situasi acara tersebut, bagaimana peran yang dimainkan artis tersebut. Jika anda mau tahu, harusnya bisa memahami media secara luas. Ini juga sikap yang saya rasa bertentangan dengan sikap humanis religius yang menilai hanya dari satu lensa saja.
Nama: Yulia Marissa Simanjuntak
BalasHapusNim: 15.01.1345
Ting/jur: I-D/Teologi
Syalom…..
Saya tertarik dengan pembahasan kali ini yang berjudul Humanisme Religius dan Nasionalisme Terbuka. Pada hari sabtu kemarin saya belum melihat para penyaji menjelaskan bagaimana itu Humanisme religius dan nasionalisme, jadi tolong untuk para penyaji tingkat I-B memberikan penjelasan kepada saya memakai pemahan kalian. Dan saya juga membaca dari sajian ini ialah bahwa membangun humanisme itu haruslah memiliki pendidikan, melalui pendidikanlah pastilah terbentuk humanisme. Nah, masyarkat di Indonesia kalau kita lihat masih banyak yang tidak memiliki pendidikan, saya mau bertanya sehubungan dengan adanya pertanyaan kemarin bahwa apakah yang berpendidikan yang rendah atau pun yang tidak ada pendidikan ia tidak memiliki nilai humanisme (nilai kemanusiaan) dan sebaliknya apakah yang memiliki pendidikan yg cukup atau pun yag berprestasi memiliki nilai humanisme (nilai kemanusiaan) tolong para penyaji menanggapinya, terimakasih
terima kasih buat pertanyaan saudara Yulia Simajuntak menurut saya pribadi ada tidaknya nilai kemanusiaan pada seseorang tidak ditentukan oleh tinggi rendahnya pendidikan. mengapa saya katakan demikian karena kita banyak melihat kasus yang terjadi pada sekarang ini, pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pohak yang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. padahal orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih dari orang sekitanya diharapkan bisa menjadi contoh bagi masyarakat sekitar. contoh yang bisa saya berikan adalah teroris. ini bukan hal yang dianggap tabu lagi karena sudah sering kita dengar. para teroris adalah orang-orang pintar yang berpendidikan tinggi mengapa saya katakan demikian karena dia mampu untuk merakit Bom, memecah, melakukan perpecahan. namun dengan pendidikan yang dimiliki tidak digunakan untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan melainkan melakukan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan.
Hapusterimakasih
syalom
Nama : eirene hutabarat
BalasHapusTing/jur : I-A/Theologia
Nim : 15.01.1246
Penyaji menekankan pada keyakinan saat memaparkan pembahasan penyaji. Saya sedikit kebingungan dengan keyakinan yang penyaji maksud karna yang saya lihat religius itu seperti keyakinan pada agama namun penyaji menjelaskan keyakinan terhadap diri. Saya minta sedikit penjelasan mengenai keyakinan yang penyaji maksud.
Pertanyaan saya jika humanisme sudah di bangun dalam diri sendiri bagaimana sebenarnya humanisme dapat kita bangun bersama dalam lingkungan sekitar kita?
menarik bagi saya pertanyaan saudara Eirene Hutabarat menurut saya jika humanisme sudah dibangun dalm diri maka untuk menerapkan nilai-nilai kemanusiaan untuk sekitar akan lebih mudah untuk dilakukan. mengapa saya katakan demikian karena penerapan nilai-nilai kemanusiaan yang pertama adalah dalam diri manusia itu sendiri, jika dalam diri sudah ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan maka untuk sekitar lebih mudah untuk penerapannya. karena yang menjadi persoalan yang sering kita temui bahwa tidak ada kesadaran dalam diri manusia itu sendiri.
Hapusterimakasih
syalom
Nama : Roni Rezeki Manihuruk
BalasHapusTing/jur : 1_D (Teologi)
Nim : 15.02.1997
Pada sajian kali ini yang membahas tentang humanisme religius dan nasionalisme terbuka
saya belum mengerti bagaimana hubungan antara kemanusiaan yang bercorak ketuhanan dan bagaimana hubungannya dengan rasa nasionalisme yang terbuka. Humanisme dikatakan berhubungan dengan pendidikan, pengetahuan manusia tentang humanisme dapat di katakan karena tingkat pendidikannya. Yang menjadi pertannyaan saya apakah dengan pendidikan yang tinggi manusia itu sudah mempunyai sikap humanisme? atau sebaliknya.
padahal seperti yang kita lihat di negara kita ini banyak yang berpendidikan tidak mempunyai rasa nasionalisme, bahkan sebaliknya, yang tingkat pendidikannya rendah bahkan lebih memiliki kemanusiaan.
Coba para penyaji jelaskan? sekian dan terima kasih.
terimakasih atas pertanyaan saudara Roni Manihuruk saya setuju dengan saudara memang tinggi rendahnya pendidikan seseorang tidak menjamin dia memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. banyak orang-orang yang berpendidikan tinggi namun tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan sebaliknya juga walupun memiliki tingkat pendidikan yang rendah tapi memiliki nilai kemanusiaan. jadi dapat kita katakan bahwa bukan pendidikan yang menentukan seseorang memiliki nilai-nilai kemanusiaan.
Hapusterimaksaih
syalom
Nama : Tino Sinaga
BalasHapusNIM : 15.01.1334
Ting/Jur : I-D/Theologia
Sebelum Saya bertanya, memang Saya suka pengajaran Romo mangun, banyak mengajarkan tentang arti dunia kehidupan.
Jadi, Terakhir sila ke-5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi semakin hambar ketika masyarakat pencari keadilan harus selalu dihadapkan pada mekanisme hukum yang tidak berpihak dan tidak membela kepentingan rakyat, sementara mereka yang menuntut pemerataan sosial dengan begitu mudah dicap sebagai sosialis-komunis dan subversif? Semua tindakan-tindakan di atas tidak akan memberikan nutrisi dan nilai pengayaan bagi Pancasila. Sebaliknya, bahkan hanya akan menjadikan Pancasila menjadi ideologi yang semakin kering, kosong dan tidak berjiwa. Salah satu dasar Negara Indonesia adalah tentang kemanusiaan. Ia berbicara tentang hakekat manusia dipandang dari berbagai aspek. Kemudian dari situ akan menghasilkan pandangan baru tentang kemanusiaan. Suatu pandangan yang dalam dunia Barat disebut dengan humanisme. Dimana aspek-aspek yang melingkupi manusia dan kehidupannya akan dibahas dan dirumuskan.
Dalam perumusannya, Pancasila tentulah tidak sama dengan perumusan humanisme yang ada di dunia Barat, karena masing-masing mempunyai latar belakang yang berbeda. Namun, gejala yang terjadi akhir-akhir ini mengindikasikan adanya kecenderungan untuk mengadopsi pandangan humanisme tersebut, yang dalam status ontologinya yang sarat akan nilai-nilai.
Pertanyaan selanjutnya apakah humanisme yang lahir dari rahim peradaban Barat itu sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang mayoritas beragama Islam? Apa pula konsep Islam tentang manusia sebenarnya? Kemudian apakah ada kesesuaian antara humanisme dan kemanusiaan?
Maka disini kita akan menyelusuri apakah relasi antara humanisme dan pancasila sebagai dasar negara indonesia. Apakah sama perumusan humanisme di dalam pancasila dengan humanisme di dunia barat?
Trimakasih, semoga saudara penyaji dapat menjelaskan secara konkrit dan jelas.
Salam IBD
Indonesia Bersatu.
Nama : eirene hutabarat
BalasHapusTing/jur : I-A/Theologia
Nim : 15.01.1246
Penyaji menekankan pada keyakinan saat memaparkan pembahasan penyaji. Saya sedikit kebingungan dengan keyakinan yang penyaji maksud karna yang saya lihat religius itu seperti keyakinan pada agama namun penyaji menjelaskan keyakinan terhadap diri. Saya minta sedikit penjelasan mengenai keyakinan yang penyaji maksud.
Pertanyaan saya jika humanisme sudah di bangun dalam diri sendiri bagaimana sebenarnya humanisme dapat kita bangun bersama dalam lingkungan sekitar kita?
Nama : Elvinaria
BalasHapusTingkat/Jurusan : I-C/ Theologia
NIM : 15.01.1250
Syalom..
Setelah membaca sajian penyaji pada kelompok 1 dari kelas I-B saya dapat mengetahui bagaimanakah humanisme yang religius dan nasionalisme yang terbuka yang dipahami oleh pemahaman dari Mangunwijaya tersebut. Setelah saya membaca bahasan dari penyaji dan para pembahas saya mendapat beberapa inti dari sajian penyaji tersebut, diantaranya:
1.Ada dua sikap menghadapi humanisme yaitu : sikap optimistis dan sikap pesimistis. Sikap optimistis dicerminkan misalnya oleh sebuah simposium, yang diselengarakan oleh Fons Elders(Humanism Toward the Third Millenium,1993) sejak runtuhnya tembok Berlin 1998. Forum ini menyadari adanya keragaman budaya di satu pihak dan ketergantungan satu sama lain di lain pihak, maka Forum 2001 mengupayakan kerja sama mencari titik temu dalam berbagai hal. Simposium pertama diselengarakan di Tempoi Pausiana,1992, menelurkan gagasan ke depan tentang humanisme baru. Dari lain pihak ada pesimisme seperti digambarkan Francis Fukuyama dalamThe End of History and the last man (1992) yang mengimunisasikan, tidak adanya lagi harapan akan kebaruan dalam proskek kemanusiaan, meski pun diktator-diktator sudah tumbang satu demi satu, dan totalitarianisme (komunisme) hancur oleh perkembangan “masyarakat warga” (civil society) pembaharuan politik ada dimana-man perestorika di rusia dan demokrasi barat,namun menurut fukuyama, sejarah berkhir dengan bentuk demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis.
2. Humanisme Romo Mangun bukanlah ideologi universal yang abstrak, melainkan mempunyai akar juga pada ke Indonesiaan dan nasionalisme yang konkret, tanpa harus jatuh pada chauvinism, yang sering dikutipnya sebagai moto Britania Raya (Jenderal Lois Mountbatten), right or wrong my country (Mangunwijaya, 1999c : 87. 114), atau xenophobia (anti-orang asing/negara asing); karena dalam pemikirannya, nasionalisme ini nantinya harus berkembang menjadi Pasca-Indonesia.
3. Untuk memulai akar nasionalisme ini, pokok kedua yang bisa dielaborasi adalah keyakinan Romo Mangun pada keunggulan angkatan 1928, yang dia bedakan dari angkatan lain, tetapi terutama angkatan 1945. Menurut Romo Mangun generasi 1928 merupakan arketipe generasi pembaharu, dengan munculnya intelektual, pemikir-pemikir nasionalis, yang menelorkan “Sumpah Pemuda”, di Belanda para mahasiswa Indonesia mendirikan “Perhimpunan Indonesia”, di Indonesia sendiri muncul dua kelompok studi, indonesische studie club di Surabaya yang didirikan oleh Dr. Soetomo, Algemene studie club di bandung dipimpin oleh soekarno ; dan sesudah munculnya partai-partai politik sejak 1912, mereka menggalang “Permufakatan Perkumpulan-perkumpulan politik kebangsaan Indonesia” (PPKI).
Jadi dari kesimpulan yang saya dapatkan dari kelompok 1 dari kelas I-B tersebut muncul pertanyaan saya :
Yang pertama bagaimanakah cara yang sebenarnya atau cara yang tepat dalam mewujudkan 2 sikap yang harus dihadapi dalam humanisme tersebut (sikap optimistis dan pesimistis) dan tantangan atau rintangan apa saja yang dihadapi dalam mewujudkan kedua sikap ini, serta apa solusi untuk menghadapi tantangan dalam mewujudkan kedua sikap tersebut?
Yang kedua dalam sajian penyaji dikatakan bahwa Humanisme Romo Mangun bukanlah ideologi universal yang abstrak, melainkan mempunyai akar juga pada ke Indonesiaan dan nasionalisme yang konkret. Jadi yang menjadi pertanyaan saya yaitu bagaimanakah sebenarnya akar pada ke Indonesiaan dan nasionalisme yang konkret dalam humanisme menurut Romo Mangun tersebut?
Yang ketiga bagaimanakah cara nasionalisme ini nantinya harus berkembang menjadi Pasca-Indonesia menurut para penyaji?
SALAM IBD TUHAN YESUS MEMBERKATI
Nama: Januwar Mamanda Sitepu
BalasHapusNim : 15.10.1274
Tig/Jur : I-D/Theologi
Shalom..
Bagi saya sendiri topik pembahasan kita kali ini yang dipaparkan oleh para penyaji kelompok 1 sangatlah menarik,sebagaimana Romo mengugas ide-ide manusia,dimana dia seorang budayawan dan bisa dikatakan sebagai bapak pereformasi pendidikan bagi kaum muda.
Namun hal yang sangat membingungkan bagi saya dimana dikatakan bahwa tujuan pendidikan untuk pemanusiaan manusia,bagaimakah dimaksud?? serta proses-proses seperti apa yang akan dialami manusia dalam meraih yang namanya humanisasi ??
Dan juga di sajian itu disinggung tentang visi dalam pendidikan menurut Romo serta kenapa pendidikan di identikkan bertolak belakang dengan humanisasi.Coba penyaji jelaskan ??
Terima Kasih
Salam Ilmu Budaya Dasar.
Nama : Netti Purnama Sari Pasaribu
BalasHapusTing/Jur : I-D/Theologi
NIM : 15.01.1297
syalom buat teman-teman semuanya..
Saya sangat tertarik dengan pembahasan kita dalam sajian 1 ini. Dimana membahas tentang hal yang saat ini perlu untuk diketahui. Memanusiakan manusia sangat penting untuk dilakukan dimana saat ini kesadaran manusia sangatlah kurang. Seperti analisa penyaji mengenai sampah yang saat ini membawa bencana kalau semua sampah itu tidak ditempatkan pada tempatnya. Hampir di semua wilayah masalah yang dihadapi yaitu masalah sampah yang semakin membludak. Sungai, selokan, pinggir jalan sudah dipenuhi oleh sampah. Hal ini sangat mengkhawatirkan dimana akan banyak bencana yang terjadi dikarenakan sampah yang menumpuk. Berbagai penyakit, banjir dan lainnya akan muncul jika sampah-sampah itu tidak segera diatasi. Jadi yang ingin saya tanyakan yaitu bagaimana menurut penyaji mengenai masalah ini sebenarnya siapa yang salah dalam hal ini, pemimpin yang kurang tegas atau penduduk yang kurang akan kesadarannya di lingkungan sekitarnya?
Syalom, terimakasih....
Nama : H. Primadona Manalu
BalasHapusNIM : 15.01.1265
Tingkat: 1D/Teologi
Salam Budaya
Topik "Nilai-Nilai Kemanusiaan"
'Humanisme Religius dan Nasionalisme Terbuka'
Dari pembahasan kelompok 1 ini, saya melihat bahwa pandangan Romo Mangun terhadap situasi kehidupan sekitar politik, agama, dan pendidikan saat ini, terkhususnya NKRI masih membutuhkan jalan-jalan atau ruang ilmu pengetahuan yang lebih dan berproses baik dalam menyikapi setiap persoalan, kebutuhan jasmani-rohani, dan kepekaan terhadap pengalaman-pengalaman tragis dan mengharukan dari setiap penghuni alam ini. lebih lagi, dalam menemukan serta mengembangkan dan membangun nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada semua permainan aplikasi yang begitu luas. Di dalam Humanisme itu ada kasih, keadilan, dan kemanusiaan. Menurut saya, dari ketiga dasar Humanisme ini sebenarnya sudah nampak bahwa nasionalisme yang terbuka itu adalah dibangun dari hal yg kecil baik melalui kepedulian dan saling memperhatikan satu sama lain. Saya kira yg perlu disini ialah bagaimana sebenarnya pemahaman kita tentang karya Romo Mangun ini? Mampukah kita membangun Nilai" kemanusiaan itu tanpa bertolak dari ajaran pendidikan,dan ajaran agama yg sudah kita terima? dan bagaimana para pemimpin seharusnya meneladani jabatannya tanpa memikirkan biaya atau upah yang sangat besar dan tidak memperdulikan suara rakyat yg menangis karena tidak dapat makan dan membutuhi kehidupannya? demikian penjelasan saya.Trimakasih
Salam IBD :)
Nama : Ronika Nursagi Panjaitan
BalasHapusNIM : 15. 01. 1316
Tingkat/Jurusan: I-B / Teologi
Syalom
Sebelumnya Terimakasih buat Bapak Dosen kami yang telah berusaha menyediakan pokok pembahasan ini di kelas dan Terimakasih buat saudara-saudari Penyaji dan Pembahas.
Romo Mangun pernah mengatakan bahwa “Hati Nurani akan dibentuk oleh Pendidikan. Hal ini berawal dari pengalamannya yang mengibaratkan sekolah adalah “sorga” yang memberikan bukan hanya latihan kecerdasan, melainkan juga pendidikan kemanusiaan dan berbagai keterampilan, seperti berbicara di muka umum, menulis, bercerita, menyanyi, memainkan peran sandiwara. Sayangnya, masa menyenangkan itu dirusak dengan datangnya Jepang pada tahun 1942. Sebagai anak keci ial menjadi shock karena situasi itu berbanding terbalik sehingga mengakibatkan banyak terjadi kelaparan dimana-mana dan sekolah-sekolah ditutup.
Yang menjadi pertanyaan saya :
1. Coba saudara penyaji menjelaskan Pendidikan seperti apa yang dapat membentuk hati nurani kita dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan?
2. Jika memang pendidikan itu bisa membentuk hati nurani seseorang, berarti dapat kita simpulkan bahwa orang yang berpendidikan tinggi akan memiliki hati nurani dan nilai kemanusiaan yang tinggi juga. Lalu apabila kita bandingkan dengan para koruptor yang notabenenya adalah orang-orang yang memiliki Pendidikan yang tinggi. Bagaimana tanggapan kita mengenai para koruptor itu sendiri ?. Dapatkah pendidikan yang tinggi itu menjamin seseorang memiliki hati nurani yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang lainnya yang mungkin tidak berpendidikan?. Dapatkah Koruptor itu dikatakan manusia humanis?
3. Lalu bagaimana tanggapan para penyaji mengenai pendidikan di Indonesia kita tercinta ini. Apakah sudah dapat dikatakan membentuk hati nurani dan membentuk manusia Humanis itu sendiri? Jika kita baca di media social mengenai pelaksanaan Ujian Nasional 2016 yang dilaksanakan tingkat SMA sederajat bahwa Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) membuka posko pengaduan UN yang menampung berbagai aduan baik terkait kendala teknis hingga temuan kecurangan dilapangan. Meskipun tahun ini laporan kecurangan turun drastis namun pada tanggal 7 April 2016 pada hari ketiga UN diterima Oke Zone aduan dari Lampung, Pontianak, Jakarta, Surabaya, Cikampek, dan bahkan Medan. Di daerah Pontianak dan Cikampek ditemukan Sindikat jual beli jawaban UN 2016 dikalangan SMK. Lampung Para Guru dilaporkan memasuki ruang Ujian Atas perintah Kepala Sekolah. Dan di Medan Laporan Konvoi Para siswa SMA Kota Medan dengan Kendaraan beroda empat dan roda 2 usai mengikuti UN.
Terimakasih
Salam IBD.
Nama : Sri Handayani Silalahi
BalasHapusTingkat/ Jur : 1-D/ Theologi
Nim : 15.01.1329
Syalom buat kita semua,
Pada pembahasan tentang humanisme, hal yang Perlu di perbaiki sistem pendidikan, hubungan guru-murid harus diperbaiki dalam situasi kekeluargaan dan hidup bersama (convivium), pola pendidikan harus member lebih banyak peluang untuk anak didik dalam mengungkapkan pengalaman mereka, membina kerja sama (dan bukan persaingan) dalam kelompok. supaya seluruh kepentingan unsur dan dimensi pendidikan yang mengarah kedepan ini dapat direngkuh dalam kerangka besar yang sesuai dengan pandangan tentang manusia Indonesia, yang sudah dijelaskan, yakni humanisme religious dan nasionalime yang terbuka. Dalam sebuah artikel dibawah ini:
JAKARTA, KOMPAS.com — Kasus kekerasan guru terhadap anak didiknya kembali terjadi. Kasus terbaru adalah penganiayaan yang dialami siswa kelas IV SDN Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur. Dia dipukul secara keterlaluan oleh guru karena dianggap nakal di dalam kelas. Dari kasus ini mengatakan, keluarga dapat mengusut lebih lanjut atau mengambil jalur hukum. Naamun pihak sebelah, menekankan cara-cara damai untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dan mengatakan hak Sebagai warga Negara indonesia, keluarga punya hak untuk melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian apabila persoalannya tidak terselesaikan,".
Namun, kedua belah pihak akhirnya memilih menyelesaikan kasus tersebut secara damai, dengan catatan Guru itu tidak mengulanginya lagi. Ia mengaku tak berniat untuk menganiaya anak didiknya. Tidak boleh ada kekerasan dalam bentuk apa pun di dunia pendidikan. Kita harus kembali ke hakikat dunia pendidikan, yang mana bukan menghukum, tetapi mengubah dan membina perilaku anak menjadi baik,", Selasa (26/8/2014).
Dan yang mau saya tanyakan akan hal ini bagaimana menurut pandangan penyaji kelompk satu akan kasus seperti ini? Apakah dengan cara perdamaian keluarga kasus ini bisa tidak akan terulang lagi? karna kita lihat jaman sekarang ini kesus seperti ini sangat sering terjadi di dunia pendidikan.
Trimakasih, Tuhan Yesus memberkati…
Nama:Desima simanjuntak
BalasHapusNim :15.01.1239
Ting/jur: IC/Teologi
syalom.
sebelumnya terimakasih kepada bapak dosen yang sudah memberikan sedikit penjelasan hari sabtu (02/04) yang lalu.
saya sangat tertarik kepada topik ini, mengapa karena memang sangat banyak kasus-kasus yang terjadi disekitar kita terkait topik ini, misalnya Kasus JIS (Jakarta Internasional School) yang terjadi pada bulan April tahun yang lalu dimana seorang Guru melecehkan seorang muridnya, yang saya ketahui seorang guru itu harus menjadi teladan bagi murid-muridnya, bukan malah melakukan tindakan pelecehan seksual dan yang saya ketahui seorang guru itukan seorang yang mempunyai pendidikan yang cukup tinggi, tetapi mengapa seorang yang berpendidikan tinggi moral nya tidak ada ?, dan siguru tersebut di bebaskan dari hukum, saya jadi bingung sendiri oleh kasus ini.
bagaimana tanggapan para penyaji mengenai kasus ini ?, dan dimana letak humanisme pendidikan dan Religius si Guru tersebut ?
Terimakasih
Syalom....
Kepada semua mahasiswa-i saya beritahukan, hari ini Sabtu, 09 April 2016, pikul 15.00 wib sore, ruang komen topik bahasan ini resmi saya tutup.
BalasHapusTerimakasih bagi saudara-i yang sudah memberikan komen-nya, dan tetaplah memberikan komen di sajian-sajian berikutnya, hingga sampai sajian ke-7 nantinya, salam IBD.
Nama : Chandra Syahputra Pasaribu
BalasHapusNIM : 15-02-568
Ting/Jur : 1/PAK
Berbicara tentang pendidikan, tentu ini sanagat menarik sekali di perbincangkan, terkhusus terhadap kita mahasiswa. Mungkin sebagian orang beranggapan pindidikan itu tidak dapat di raih jika perekonomiannya rendah, akan tetapi kita harus ingat bahwa sesungguhnya pendidikan dapat di raih tidak hanya di tentukan oleh uang, tetapi bisa juga lewat pengalaman.
Contoh : anak desa sering bermain dilingkungan sekitar mereka, tentu permainan mereka berhadapan langsung dengan alam berbeda dengan anak kota yang lebih cenderung heboh dalam dunia elektronik. Dari situ tentu secara tidak langsung anak-anak desa belajar lebih memahami tentang alam dibandingkan anak kota. Dan jika anak tersebut mulai terfokus terhadap pembelajarannya tentu anak tersebut dapat sekolah di Negeri baik mulai dari SD-SMA dan bahkan anak tersebut akan mendapat biaya siswa untuk meanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri. Jadi menurut saya pengalamnlah yang kerap kali menjadi pendidikan yang berkualitas tentu didukung oleh kedua orang tua dan ada kemauan berusaha yang tinggi untuk mencapai impian yang di inginkan.
Dari pendapat saya di atas, apa tanggapan penyaji dan langkah apa yang akan anda lakukan sebagai hamba Tuhan untuk mewujudkan hal tersebut? Sekian, Syaloom,,,
Nama:Trika purba
BalasHapusNim:15.01.1336
Ting/jur:1-A/Teologi
syaloom.......
sebelumnnya saya berterimakasih kepada bapak dosen atas penjelasan yang diberikan kepada kami pada sabtu (02/04)
pada pembahasan kali ini saya sangat tertarik pada topik kelompok 1.
pada hari sabtu yang lalu para penyaji sudah menjelaskan mengaenai humanisme dan nasionalisme terbuka,saya mau bertanya kepada para penyaji karena di dalam sajian kalian saya belum menemukan apa itu arti humanisme dan nasionalisme terbuka coba penyaji jelaskan mengenai hal tersebut. dan coba penyaji jelaskan apa hubungan antara kedua hal tersebut serta proses proses apa yang akan dialami manusia dalam meraih yang namannya humanisme dan nasionalisme terbuka?