NAMA
: Anggika Ginting
Emisura Tarigan
Monalisa Purba
Victor S Silalahi
Yosua Tampubolon
TINGKAT/PRODI : I-C/Theologia
MATA KULIAH : Ilmu Budaya Dasar
DOSEN PENGAMPU : Pdt. Edward Simon Sinaga,M.Th
Manusia Humanis Menurut Romo Mangun
I.
Pendahuluan
Romo Mangun adalah seorang pastor Pr
(Praja), organisasi pastor Keuskupan yang menekankan kegiatannya untuk rakyat
kecil di desa-desa, sesuai dengan janji dirinya sejak lama. Setelah
pentahbisannya, Uskup Agung Semarang memerintahkannya untuk melanjutkan studi arsitektur di Institud
Teknologi Bandung (ITB), karena gereja Indonesia membutuhkan arsiteknya sendiri
untuk membangun gereja yang berciri pribumi. Romo Mangun mengabdikan selutuh
hidupnya bagi kepentingan masyarakat Indonesia, khususnya dalam bidang
pendidikan anak-anak miskin.
II.
Pembahasan
A.
Riwayat
Hidup Y. B. Mangunwijaya
Yusuf
Bilyarta (Y.B.) Mangunwijaya yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Romo
Mangun lahir di Ambarawa, 6 Mei 1929, sebagai sulung dari 12 bersaudara.
Bilyarta berhasil menamatkan sekolah dasarnya di Magelang pada tahun 1943, lalu
pindah ke Semarang dan di sana masuk sekolah teknik. Kemudian ia pindah lagi ke
Yogyakarta. Di sini ia bersekolah di dua tempat. Pagi ia meneruskan sekolah
tekniknya, di Sekolah Teknik Mataram. Sore ia bersekolah di Sekolah Menengah
Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia (AMKRI). Tidak lama kemudian pecahlah
perang revolusi kemerdekaan. Sekolah-sekolah pun ditutup kembali.
Pelajar-pelajar
sekolah menengah pada waktu itu dimobilisasi untuk menjadi pejuang dan
bermarkas di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Bilyarta masuk Batalyon X. dan
sebagai anggota pasukan Zeni di bawah pimpinan Mayor Soeharto ia sempat ikut
dalam pertempuran Magelang dan Ambarawa.setelah perang usai, Bilyarta menerima
tawaran dari Uskup Malang yang saat itu sedang mencari murid dari sekolah yang
baru dibukanya. Sekolah tersebut adalah Sekolah Menengah Atas Dempo, Malang. Di
sekolah menengahnya itu, Bilyarta aktif di organisasi Pemuda Katolik.
B.
Konsep-konsep
tentang Manusia
B.1.
Konsep Manusia Menurut Kebudayaan Jawa
Berbicara
tentang pendidikan, pastilah terlebih dahulu berbicara tentang manusia karena
setiap sistem pendidikan ditentukan oleh filsafat tentang manusia dan citra
manusianya yang dianut, sehingga tidak pernah nertal atau dengan kata lain
ideologis. Menurut Y.B. Mangunwijaya, citra manusia tradisional Jawa pada
hakikatnya adalah citra wayang belaka pada kelir jagad cilik (mikro-kosmos), jadi manusia hanya bayangan saja, tidak
sejati. Dengan konsep manusia seperti itu, maka prinsip pendidikan jawa dan
yang tradisional seumumnya lalu hanyalah penyadaran posisi, status serta
kewajiban murid/orang muda dalam piramida tatanan hierarkis yang sudah
dipredestinasi oleh nasib. Kefanaan alias ketidaksejatian hidup di dunia ini
terekspresi poetis oleh pandangan hidup rakyat Jawa: urip mono mung mampir ngombe (hidup hanyalah singgah sebentar untuk
minum). Mangunwijaya mengutip konsep feudal pyramidal hierarkis dalam Serat Paramayoga/Pustakaraja, misalnya
ketat memperjelas posisi serta nasib manusia.
Dalam
konsep manusia lama Jawa, kedudukan manusia dalam pendidikan tidaklah lebih
dari menggiring si anak dan memupuk tunas-tunas muda ke pengintegrasian diri
dalam seluruh gugusan adat-istiadat dan kebudayaan orangtua serta nenek moyang
secara tradisional. Pendidikan sebagai sosialisasi tidak melihat anak memiliki
nilai tersendiri, berkepribadian unik dengan status bermartabat sebagai manusia
yang harus dihormati, anak hanyalah bernilai sekunder, yang primer ialah
kedudukan, kepentingan, dan penghidupan kolektivitas. Maka, sosialisasi
berikhtiar menggiring warganya untuk tahu diri dalam sistem pahala dan status.
B.2.
Konsep Manusia Menurut Kebudayaan Barat
Menurut Romo Mangun salah satu buah kolonialisme di Indonesia yang positif ialah
rontoknya pandangan tentang konsep manusia dan pendidikan feudal model
kebudayaan Jawa. Pendidikan Barat yang datang itu telah mengalami metamorfosa
dari manusia kolektivistis feodal-hierarkis kemanusia Renaissance dan Fajarbudi
(aufklarung) dan telah terbebas dari masa kegelapan abad-abad pertengahan, yang
menmpatkan manusia hanya sebagai obyek kekuasaan para bangsawan. Kebudayaan
Barat menekankan bahwa tujuan hidup fana tidak lagi hanya selaku persiapan
melulu ke dunia akhirat, akan tetapi dihargai sebagai tujuan intrinsik dan
sejati pada dirinya , tanpa harus mengingkari nilai hidup akhirat.
B.3.
Konsep Manusia Indonesia Kontemporer
Dalam masyarakat Indonesia kontemporer,
khususnya sejak Orde Baru berkuasa, manusia ideal Indonesia yang sering
dikemukakan adalah manusia Pancasila,
yaitu manusia Indonesia yang menghayati dan membuat dasar dan pedoman hidupnya,
dasar tingkah laku dan budi pekertinya berdasarkan kepada kelima sila
Pancasila; Ketuhanan, Kemanusiaan, Keadilan, Kerakyatan, dan Persatuan
Nasional. Namun, menurut Mochtar Lubis, gambaran manusia Pancasila itu bisa
tercapai jika tercipta kondisi masyarakat yang dapat mendewasakan dirinya dari
kungkungan masyarakat semi atau neofeodalis lanjutan masyarakat feodalis zaman
dahulu.
Menurut
Driyarkara, manusia Pancasila adalah manusia yang diakui sebagai subjek yang
otonom. Manusia merupakan satu kesatuan jiwa raga, maka hanya pada manuisa pula
terdapat totalitas. Manusia menyadari akan adanya dua momen dalam dirinya, yaitu
jiwa dan badan, yang merupakan suatu totalitas. Justru kesadaran itulah yang
membuat manusia dapat mengadakan refleksi bahwa berkat badan, manusia adalah
bagian dari alam semesta, tetapi berkat jiwa rohaninya ia melampauinya. Jiwa
rohani itu membedakan manusia sebagai suatu totalitas dengan segala sesuatu
lainnya dalam alam semesta ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jiwa
rohani itu merupakan kekhususan manusia dan menempatkannya sebagai pribadi.
C.
Konsep
Manusia Menurut Y.B. Mangunwjaya: Manusia Pasca-Indonesia atau Pasca-Nasional
dan Pasca-Einstein
Konsep yang di kembangkan Romo Mangun tidak dapat dilepaskan dari perjalan
hidupnya. Dari pengalaman hidupnya, Romo Mangun menemukan bahwa yang menjadi
korban oleh pihak yang lebih kuat dalam masa kemerdekaan maupun masa
pembangunan adalah rakyat kecil, khususnya orang-orang miskin, terlebih para
perempuan dan anak-anak.
Menurut
Mangunwijaya, konsep manusia yang ingin dibandingkan nya ialah manusia yang
humanis. Namun, pembentukan manusia yang humanis itu terbentur oleh budaya
feodalisme yang sudah mendarah daging dalam kehidupsn masyarakat Indonesia.
Untuk itu ia menawarkan sebuah konsep manusia yang humanisyang terbebas dari
belanggu-belanggu feodalisme. Romo Mangun menamaka konsep manusia yang humanis
itu dengan istilah manusia Pasca Indonesia atau Pasca-Nasional dan
Pasca-Einsten.
C.1. Pasca-Indonesia atau pasca-Nasional
Romo Mangun menempatkan nation dan nasionalisme modern dalam konteks evolusi bangsa
manusia. Secara garis besar perkembangan interaksi antarmanusia didalam dan
diluar kelompokdapat dimulai dari bentuk komunal sangat sederhana dalam
kerangka dusun yang tertutup, yang kemudian akan semakin terbuka dalam
fase-faseevolesi yang berekselerasi dengan hubungan lokal atau hubungan
regional. Sistem suku kemudian mengalami proses penghayatan yang lebih luas
lagi, pascasuku, yang semakin mengonsolidasi diri dari dalam kerajaan atau
susunan feodalisme, yang variasinya yang berbentuk banyak namun esensinya sama
Menurut Romo Mangun, kebudayaan pascasuku tumbuh dari proses ekspansi
budaya pemburu, nelayan, dan pengembara yang berevolusi ke ke budaya agreris
yang menetap dari kabupaten sampai kerajaan besar. Ekpresi foedal agresisoleh
struktur industri dan pandangan inter-benua dalam bentuk republik-republik kota
regional maupun Nasional.
Nasionalisme Indonesia dimasa
mendatang menurut pandangan Romo Mangun akan kembali keberkembang
keakar-akarnya sejak semula awal dicita-citakan oleh generasi 1928, yakni
kembali ke alur hakikat semulanya yang murni, yakni pembelaan kawan manusia
yang masih dijajah, yang masih miskin dalam segala hal, termasuk miskin
kemerdekaan dan penentuan diri sendiri,
menolong manusia yang tidak berdaya menghadapi kuasa yang sewenang-wenang, yang
telah merambat bumi hak pribadinya dan yang memaksa kebudayaan serta seleranya
kepada si kalah. Hanya bedanya dulu suasananya serba berbendahara nasional,
jadi selalu menghadap kearah lawan asing diluar. Sedangkan dalam kebudayaan pasca-Indonesia
dalam konteks sekarang ini, lawan nya adalah perlakuan-perlakuan yang
dehumanis.
C.2. Pasca-Einstein
Sejak munculnya Albert Enstein
(1879-1955) yang mengajarkan kepad generasi muda tentang multidemensionalitas. Sehingga laporan-laporan pasca-indera serta
buah imajinasi sehari-hari, yang memberi basis pengamatan serta macam-macam
penanganan operasional secara normal.
Menurut Romo Mangun, seluruh
gambaran manusia tentang semesta raya menjadi begitu relatif, begitu tergantung pada pengandaian lokasi dan
waktu situsi dan asumsi, sehingga banyak perkara yang begitu vatal dan
fundamental seperti mutlak, norma, batas, materi, energi, bahkan benar dan
salah, menurut kodrat dan melawan kodrat sesuai hukum alam dan tidak sesuai
hukum alam.
Istilah Pasca-Einsten yang
juga disebut manusia Bermatra Gatra, ini diolah Romo Mangun dari teori
relativitas Albert Einsten. Teori ini dilontarkan Einsten pada tahun 1905.
Menurutnya, setiap hal melaju dengan kecepatan yang berbeda tergantung situasi
yang berbeda.
Melalui teori relatifitas
itu, Romo Mangun melontarkan konsep Pasca-Einsten, yang mengajak segenap
generasi muda untuk bersikap menurut dinamika relativitas dengan tidak
memutlak-mutlakkan, karena segala sesuatu bersipat relatif. Genrasi muda harus
meluaskan horizontalnya dengan berpikir kreatif, eksploiratif, inklusif, dan
pluralistik. Hidup ini multidimensional (bermatra gatra). Jika suatu jalan
gagal orang wajib mencoba jalan lain, artinya, Mangun menunjukkan bahwa hidup
ini penuh dengan kemungkinan. Menurut Romo Mangun konsp pasca-Einsten itu
ditandai juga dengan paradigma berpikir
nggiwar(berpikir literal/lateral
thinking).
Perbedaan antara
Pasca-Einsten dengan berpikir lateral/nggiwar
yaitu, Pasca-Einsten menekankan manusia menanggapi suatu masalah, sedangkan berpikir lateral/nggiwar menekankan bagaimana manusia menyelesaikan suatu masalah.
Manusia Pasca-Einten atau
manusia berrmatra gatra, menurut Romo Mangun, sosoknya dapat ditemukan pada
generasi 1928 yang merupakan pencetus
dan penggerak kemerdekaan Indonesia. Keberhasilan generasi 1928 bukan
karena otot, melainkan karena intelegensi, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk berpikir
lateral.
Driyarkara
mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk “pemanusiaan manusia”, melalui
proses ‘’humanusasi” dan “hominisasi”,atau disebut sebagai pendidikan humaniora.
Paham kemanusiaan Romo
Mangun boleh dikatakan tidak terlepas dari Paham religiositas. Religius disini
tidak harus diartikan sebagai pemeluk agama tertentu, melainkan adadanya
kecenderungan dan kesadaran akan yang Ilahi, yang mengatasi kekecilan manusia
atau rasa kemakhlukan (creature-feeling),
atau rasa ketergantungan (feeling of
dependence) pada sesuatu yang lain. Isu yang menjadi keprihatinan Romo
Mangun bukanlah soal dialog agama, atau pembicaraan tentang perbedan ajaran
agama-agama yang satu dengan yang lain, melainkan bagaimana mereka bekerjasama
dalam berbagai macam bidang, dengan semangat kemanusiaan yang sama, merasakan
keprihatinan yang sama sebagai manusia kecil.
Iman kristennya, jabatan
imamnya, hanyalah titik tolak. Sedangkan tujuannya adalah kemanusiaan umum.
Maka, baginya agama lain bukan menjadi saingan, apalagi musuh, melainkan teman
kerja, khususnya melayani rakyat yang miskin.
III.
Analisa
Solusi dan keputusan politik yang legal
Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus yang disahkan melalui lembaga resmi DPR RI dan didukung komunitas
Internasional dan juga diterima sebagian rakyat Papua dan sebagian besar
dipaksa menerima Otsus. Sayang, Otonomi Khusus itu dinyatakan oleh banyak
pihak, termasuk Negara Asing Pemberi donor dana bahwa telah gagal .
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Papua
dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001. UP4B
adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan meng-kekal-kan
pendudukan, penjajahan, kejahatan, kekerasan Negara, penderitaan,
kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli Papua.
Jadi, kesimpulannya, yang jelas dan pasti tanpa ragu-ragu:
Pemerintah Indonesia berusaha dan bekerja keras untuk mencuci tangan, melempar
tanggungjawab dan menyembunyikan diri atas kegagalan, kejahatan
terhadap penduduk Asli Papua (pelanggaran HAM) yang kejam dan brutal,
mengalihkan kemiskinan struktural dan permanen yang diciptakan Negara terhadap
Penduduk Asli Papua selama ini dengan mengkampanyekan Separatisme harus
dihentikan. Kampanye ini untuk memperlihatkan kepada rakyat Indonesia
dan komunitas internasional bahwa kekerasan di Papua dilakukan oleh
Penduduk Asli Papua dengan membunuh Mako Musa Tabuni pada siang bolong dengan
cara kriminal, kejam dan watak premanisme. Pemerintah Indonesia berlindung
dibalik stigma separatisme. Indonesia telah gagal menjaga martabat
manusia Papua, sebaliknya Pemerintah selalu merendahkan martabat rakyat
Papua dengan stigma Separatis dan OPM. Pemerintah Indonesia sudah lama
memperlihatkan wajah kekerasan dan anti kedamaian. Pemerintah gagal
mengintegrasikan rakyat Papua ke dalam Indonesia tapi hanya berhasil
mengintegrasikan Papua secara politis dan ekonomi. Penduduk Asli Papua berada
diluar dari integrasi ideologi dan nasionalisme Indonesia. Walaupun
pendidikan dan kurikulum yang diterapkan di Papua dari tingkat Taman
Kanak-Kanak-Perguruan Tinggi adalah sistem pendidikan Nasional Indonesia.
IV.
Kesimpulan
Paham manusia Humanis menurut Romo Mangun
ialah manusia berdasarkan konsep, ada banyak konsep yang disuguhkan oleh Romo
mangun. Diantaranya adalah sebagai berikut: Konsep Manusia menurut Kebudayaan
Jawa, Konsep Manusia menurut Kebudayaan Barat, Konsep Manusia Indonesia
Kontemporer. Ada juga yang lain, yaitu: Konsep Manusia Pasca-Indonesia atau
Pasca-Nasional dan Pasca-Einstein.
V.
Daftar
Pustaka
Mangunwijaya,
Y.B., Humanisme, Jakarta: Buku
Kompas, 2015.
Nama : Anjas Tacia Linka Br. Ginting
BalasHapusHendrio Siagian
Jon Andre Damanik
Krismay Pasaribu
Rory Girsang
Kelas : I-C/Theologia
Manusia menjadi topik sentral dalam pembahasan Romo Mangunwijaya mengenai "Manusia Humanis" yang menyentuh pada nilai-nilai kemanusiaan. Menurut filsuf Aristoteles, Manusia adalah mahkluk "ZOON POLITICON", yang berarti manusia adalah mahkluk sosial yang senantiasa membutuhkan manusia lain untuk kelangsungan hidupnya. Saat manusia jatuh kedalam dosa, manusia sudah merusak hubungannya dengan penciptanya, merusak hubungannya dengan sesamanya, merusak hubungannya dengan alam dimana ia tinggal. Namun saat ini, hal itu semakin ditambah buruk oleh sifat manusia yang semakin menyimpang dari hal yang sebenarnya dan yang sepatutnya ia lakukan dan jalankan. Sehingga kehumanisan manusia itu juga semakin jauh dari titik yang sebenarnya yang semakin membuat kemanusiaan itu semakin ternodai. Sekali lagi, pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam pewujudan kemajuan bangsa dan masyarakatnya. Kalau saja manusia belum mengenali yang dinamakan pendidikan, maka kita akan terus terkurung dan terperangkap dalam alam pemikiran mitis dan kita tidak akan pernah melalui tahap-tahap pemikiran lain (Ontologis dan Fungsionalisme) yang akan menghantarkan manusia menuju keesaannya.Pendidikan kiranya menjadi salah satu jalur strategis untuk melalukan kontrol yang dapat membangun rasa kesetiaan, kepatuhan, dan mengarahkan pemikiran manusia kearah yang lebih baik lagi yang juga akan menghantarkan manusia pada titik humanisme. Manusia pasca-Indonesia akan menghantarkan manusia pada rasa nasionalisme: rasa cinta tanah air dan bangsa. Romo Mangun melihat bahwa nasionalisme sangat mendorong manusia untuk semakin mengendornali jati dirinya. Mengenali jati diri akan semakin mendorong manusia untuk semakin membangkitkan paradigma berpikirnya akan pentingnya humanisme dalam kehidupan manusia. Einsten, dengan segudang pengetahuan yang dimilikinya melihat bahwa manusia perlu untuk berbenah diri. Manusia harus terus berpikir untuk menanggapi dan menyelesaikan setiap masalah dan persoalan-persoalan yang dapat merusak nilai-nilai kemanusiaan. Disini, kaum muda yang menurut Einsten lebih berpotensi untuk melakukan hal tersebut yang juga akan semakin membentuk anak-anak bangsa yang dapat mejadi cikal-bakal tergapainya kemajuan bangsa yang sudah lama dinanti=nantikan oleh segenap manusia. Manusia dalam persfektif budaya dan suku manapun pada hakekatnya adalah sama, dimana manusia itu mengkehendaki adanya kedamaian dan ketenangan dalam hidupnya. Budaya juga harus mampu menjadi jalan yang dapat membawa manusia pada tingkatan hidup yang sesungguhnya. Budaya perlu menjadi tempat dimana manusia meluangkan segala hasil dari pemikiran akan pengetahuannya.
Salam IBD
TERIMA KASIH, SYALOOM!!!!
Nama :Angelica Precilya
BalasHapusTingkat/Jur : I-C/Teologi
NIM : 15.01.1214
Syalom
Dari pembahasan kelompok II yang membahas mengenai Manusia Humanis. Kita telah mempelajari mengenai berbagai konsep manusia, yaitu berdasarkan kebudayaan Jawa, Barat, Kontemporer, dan menurut Romo Mangunwijaya.
Saya melihat bahwa terjadi perubahan-perubahan dalam diri manusia dilihat dari sisi situasi, waktu, dan kondisi manusia itu sendiri,sehingga hal ini menjadikan suatu kekhasan dalam diri manusia. Padahal yang kita ketahui, konsep manusia itu pada dasarnya yaitu sama.
Saya menarik suatu pandangan bahwa apabila kita berbicara mengenai Humanisme, berarti kita berbicara mengenai kasih, etika, dan rasionalitas. Seperti pembahasan yang diberikan para pembahas, bahwa manusia bersifat ZOON POLITICON, yang artinya manusia selalu ingin hidup bersama dengan orang lain, hal ini justru harus menerapkan kasih ditengah-tengah hubungan bersosialisasi,agar terjalin hubungan yang harmonis. Kemudian humanis juga berhubungan dengan etika, maksudnya disini ialah, manusia yang humanis sudah pasti menjunjung nilai-nilai yang ada (etika), yang membantu manusia untuk hidup bersosialisasi dengan sesama. Selain itu manusia juga harus bersifat rasionalitas yang artinya manusia memaknai segala sesuatu secara konstruktif (membangun) bukan destruktif (merusak).
Dalam hal ini saya tertarik untuk membahas mengenai kasus yang pernah terjadi di Indonesia yaitu mengenai kasus Samudra CS yang melakukan pembomman di Bali. Kita tahu, hal ini menimbulkan kontroversi mengenai hukuman yang ditetapkan oleh pihak hukum, yaitu tersangka harus dieksekusi hukuman mati sebagai sanksi atas perbuatannya yang memakan banyak korban. Di satu sisi hukum harus ditaati ataupun dijalankan, di sisi lain jika dilihat dari sisi humanis , layakkah kita memberikan hukuman mati kepada manusia itu sendiri?. Padahal kita tidak ada hak untuk merenggut nyawa orang lain, karena Tuhan yang memberi kehidupan, maka Tuhan jugalah yang akan mengambil kehidupan ini. Jadi, bagaimana tanggapan penyaji mengenai hal ini, dapatkah hal tersebut dikatakan dehumanisasi, atau itu merupakan aturan hukum yang layak diberikan kepada tersangka yang melakukan pemboman itu?.
Terima Kasih.
Syalom
Tuhan Yesus Memberkati.
hukuman mati kami penyaji menganggap bahwa itu bukan lah hal yang dapat dikatakan dehumanisasi, namun secara hukum, hukuman mati telah ditetapkan bagi bangsa Indonesia sebagai hukuman atas perbuatan-perbuatan tententu, memang secara teologi pandangan hukuman mati tidak layak dilakukan oleh sesama manusia, tetapi melalui pertimbangan-pertimbangan secara hukum, hukuman mati layak dilakukan, dari sudut teologi mencabut nyawa manusia lain bukan lah tugas manusia lain, namun secara hukum hal ini lah dianggap sebagai hukuman yang patut bagi orang yang melakukan aksi pencabutan nyawa terhadap orang lain, namun secara teologi perlakuan yang dilakukan pihak hukum adalah sama saja dengan sistem balas membalas, ini juga lah yang menjadi pergumulan Romo Mangun ketika mendengar perkataan mayor Isman yang berpidato dalam puncak acara perayaan atas menangnya Republik Indonesia, katanya “jangan kalian sebut kami sebagai pahlawan atau bungan bangsa, akibat perang kami telah belajar melukai dan membunuh, tangan-tangan kami berlumuran darah dan kami para pemuda yang tidak tumbuh dengan normal”, perkataan ini membuat Romo Mangun merenung untuk mengambil langkah dalam kehidupannya, apa yang penyaji ingin katakana melalui penjelasan ini ialah manusia hidup harus bijaksana dan penuh hikmat, tidak salah jika ada pandangan yang menganggap bahwa hukuman mati ialah tindakan yang tidak sesuai dengan sikap humanisme, namun tergantung apa dasar hukum yang membenarkan perlakuan tersebut, hidup kita harus seimbang antara duniawi dengan setelah duniawi. Terimakasih.
HapusNama : Elvinaria
BalasHapusTingkat/ Jurusan : I-C/ Theologia
NIM : 15. 01. 1250
Syalom...
Sekilas tentang latar belakang Romo angun. Romo Mangun adalah seorang pastor Pr (Praja), organisasi pastor Keuskupan yang menekankan kegiatannya untuk rakyat kecil di desa-desa, sesuai dengan janji dirinya sejak lama. Setelah pentahbisannya, Uskup Agung Semarang memerintahkannya untuk melanjutkan studi arsitektur di Institud Teknologi Bandung (ITB), karena gereja Indonesia membutuhkan arsiteknya sendiri untuk membangun gereja yang berciri pribumi. Romo Mangun mengabdikan seluruh hidupnya bagi kepentingan masyarakat Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan anak-anak miskin.
Setelah saya membaca sajian dari kelompok 2 yang berjudul MANUSIA HUMANIS MENURUT ROMO MANGUN. Romo Mangun pernah berkata “ketika engkau beragama, memuliakan Tuhan dan mempunyai Tuhan maka engkau terpanggil untuk mengangkat (menolong atau perduli) terhadap sesama manusia”. Setelah membaca sajian kelompok 2 tersebut saya bisa mengetahui ternyata ada beberapa konsep manusia menurut Romo Mangun tersebut diantaranya Konsep manusia menurut kebudayaan Jawa, Konsep manusia menurut kebudayaan Barat, dan Konsep manusia Indonesia Kontemporer.
Konsep yang di kembangkan Romo Mangun tidak dapat dilepaskan dari perjalan hidupnya. Dari pengalaman hidupnya, Romo Mangun menemukan bahwa yang menjadi korban oleh pihak yang lebih kuat dalam masa kemerdekaan maupun masa pembangunan adalah rakyat kecil, khususnya orang-orang miskin, terlebih para perempuan dan anak-anak.
Menurut Mangunwijaya, konsep manusia yang ingin dibandingkan nya ialah manusia yang humanis. Namun, pembentukan manusia yang humanis itu terbentur oleh budaya feodalisme yang sudah mendarah daging dalam kehidupsn masyarakat Indonesia. Untuk itu ia menawarkan sebuah konsep manusia yang humanisyang terbebas dari belanggu-belanggu feodalisme. Romo Mangun menamaka konsep manusia yang humanis itu dengan istilah manusia Pasca Indonesia atau Pasca-Nasional dan Pasca-Einsten.
Dari konsep tentang manusia menurut Romo Mangun tersebut muncul pertanyaan saya konsep yang manakah yang paling mempengaruhi nilai-nilai kemanusiaan (kebenaran, keadilan dan kebaikan) terhadap kehidupan manusia tersebut? Kemudian para penyaji juga mengatakan Romo Mangun menamakan konsep manusia yang humanis itu dengan istilah manusia Pasca Indonesia atau Pasca-Nasional dan Pasca-Einsten. Jadi timbul pertanyaan saya cara yang tepat untuk mendorong atau dalam kata lain mewujudkan atau membentuk manusia Pasca Indonesia atau Pasca-Nasional dan Pasca-Einsten dan bagaimana sebenarnya keadaan manusia yang berada dalam manusia Pasca Indonesia atau Pasca-Nasional dan Pasca-Einsten?
TERIMA KASIH
SALAM IBD TUHAN YESUS MEMBERKATI
Nama : lisda yani purba
BalasHapusting/jur : 1-c/ teologi
nim :15.01.1288
Dari pembahasan kelompok ll, para penyaji sudah memparkan sajiannya melalui bog ini, saya mau bertanya pada C.2 Pasca-Einstein, alinea ke 5 para penyaji mengatakan “Perbedaan antara Pasca-Einsten dengan berpikir lateral/nggiwar yaitu, Pasca-Einsten menekankan manusia menanggapi suatu masalah, sedangkan berpikir lateral/nggiwar menekankan bagaimana manusia menyelesaikan suatu masalah.” Yang mau saya tanyakan ialah menurut para penyaji bagaimana metode-metode yang harus dilakukan pemerintah mengenai sekolah di SLB untuk bisa berpikir secara lateral/nggiwar,? Terimakasih, syalom
Nama : Dewi Aprianna Br Pinem
BalasHapusNIM : 15.01.1240
tingkat/ jurusan: I-C/ Teologia
syalom
menariK bagi saya pembahasan kita pada sajian kelompok II ini karena masih dalam konteks Humanisme. ketika saya membaca judul sajian para penyaji, timbul pertanyaan bagi saya yaitu mengapa Mangunwijaya mengangkat topik humanisme. setelah ditelusuri lebih dalam lagi saya melihat bahwa ini diangkat karena pada saat ini kita melihat banyak terjadi peristiwa diakibatkan karena krisis nilai-nilai kemanusiaan, dalam konteks ini peristiwa ini bukanlah hal yang dianggap tabu namun sudah menjadi hal yang biasa kita lihat dan saksikan.
sebagai contoh orang-orang yang kita harapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat umum pun sudah tidak bisa lagi menjalankan tugasnya sebagai orang yang diharapkan mampu nenjadi contoh. dalam hal ini saya teringat kembali dengan kasus seorang pendeta yang hamil diluar nikah. kita tahu bahwa pendeta diharapkan mampu menjadi teladan bagi anggota jemaat namun yang terjadi malah sebaliknya. dalam hal ini bagaimana pandangan para penyaji?
terimakasih
salam IBD
SYALOM..
Nama : Ipo Sunarsya Malau
BalasHapusNim : 15.01.1272
Kelas : I-C Teologia
Syalom bagi kita..
Romo Mangun adalah sosok seorang tokoh yang sangat perduli terhadap negara Indonesia ini bahkan dia memperdulikan bagaimana nantinya kelanjutan bangsa Indonesia ini agar menjadi sosok manusia yang humanis. Membentuk jati diri setiap orang bukanlah hal yang mudah bagi seorang Romo, karena walaupun banyak peraturan atau metode yang dilakukan oleh seorang Romo untuk membuat seseorang menjadi manusia yang Humanis, jikalau tidak dihiraukannya maka sangatlah percuma.
Pada konsep manusia menurut kebudayaan jawa sangat jelas bahwa Pendidikan sebagai sosialisasi tidak melihat anak memiliki nilai tersendiri. Berkepribadian unik dengan status bermartabat sebagai manusia yang harus dihormati. Budaya Jawa sampai saat ini masih terkenal dengan kesopanannya.
Pada konsep manusia menurut kebudayaan Barat menekankan bahwa tujuan hidup fana tidak lagi hanya selaku persiapan melulu ke dunia akhirat. Akan tetapi dihargai sebagai tujuan intrinsik dan sejati pada dirinya , tanpa harus mengingkari nilai hidup akhirat.
Dalam masyarakat Indonesia ada konsep manusia menurut kontemporer, khususnya sejak Orde Baru berkuasa. Manusia ideal Indonesia yang sering dikemukakan adalah manusia Pancasila bahwa setiap manusia wajib dan harus mematuhi kelima sila dapa Pancasila tersebut. Tetapi terkadang setiap orang khususnya pemuda pada saat ini ada yang kurang perduli pada Pancasila. Seharusnya sebagai generasi penerus seharusnya kita harus bisa menghargai Pancasila sebagai lambang negara.
Pada ketiga konsep tersebut jelas terlihat bahwa sangat banyak perbedaan dari setiap budaya. Tetapi dibalik keberagaman budaya tersebut kita harus bisa memegang teguh budaya kita dan menghargai budya lain dalam arti kita eksklusivisme dan dibalik keberagaman budaya itu kita juga hars menerapkan Kasih kepada sesama kita. Romo Mangun sangat berharap suatu saat nanti bangsa Indonesia menjadi bangsa yang Humanis, bangsa yang berbudaya.
Dari sajian para penyaji saya mempunyai pertanyaan yaitu, bagaimana menurut para penyaji jikalau ada orang yang hanya bisa mengasihi atau menghargai budaya orang lain tanpa menghiraukan budayanya sendiri?
Syalom…
seharusnya terlebih dahulu harus mengutamakan budaya kita sendiri karna ketika kita mampu menghargai budaya kita sendiri maka budaya orang lain dapat kita hargai dimana belum ada atau jarang sekali orang dapat menghargai budaya orang lain sementara budayanya sendiri di abaikan untuk itu marilah terlebih dahulu mengutamakan budaya kita karna ketika kita mengutamakan atau menghargai budaya kita maka orang lain pun akan melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Krismay Pasaribu
HapusTing./Jur. : I-C/Theologi
NIM : 15.01.1285
Syaloom bagi kita semua.
sekarang sudah begitu banyak permasalahan yang terjadi di dalam manusia humanis termasuk yang seharusnya para pemimpi-pemimpin kita pun sudah menyimpang dan tidak menjadi teladan bagi masyarakat
Jadi pertanyaan saya ke pada para penyaji adalah bahwa apa yang harus di lakukan untuk mengajak para pemimpin kita menerapkan manusia humanis?
Menurut para penyaji yang dapat dilakukan untuk mengajak para pemimpim menerapkan manusia humanis sangat ruwet, karena pada masa kini kebanyakan pemimpin kita tidak memiliki kesadaran ataupun kepekaan tentang manusia humanis dalam diri mereka, kita sebagai orang yang sadar akan manusia humanis hanya dapat memberikan atau pun menunjukkan bagaimana manusia humanis bertindak dan berperilaku dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat serta merta mendoakan pemimpin kita agar segera sadar akan sikap manusia humanis.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusbaik saya akan menjawab pertanyaan dari saudara emia pepayosa yaitu bagaimana tanggapan kami tentang pemahaman bahwasanya banyak yang tidak memiliki agama namun bersifat religius, pemahaman saya tentang bersifat religius adalah sesorang yang mampu melakukan suatu kebaikan dalam hidupnya, seseorang yang tidak memiliki agama mampu bersifat religius adalah hal positif mereka memahami kehidupan ini, dimana mereka tidak menganut suatu paham agama tetapi mampu berbuat apa yang diajarkan oleh agama, segi kebersifatan religius ini patut kita tirukan yang menunjukkan bahwa kita yang beragama mampu melakukan aksi dari ajaran-ajaran agama yang telah kita terima. inilah nilai positif dari penganut atheis yang bisa diapresiasikan, terlepas dari kebersifatan religius mereka, kita hanya bisa menjadi seorang penilai tanpa menjadi penghakim atau menghakimi mereka terkait mereka adalah seorang atheis.terimakasih untuk saudari emia yang memberikan pertanyaan.Syalom
HapusNama :Emia Pepayosa Perangin-angin
HapusKelas/Jurusan :1-C/Teology
Nim :15.01.1251
Baik disini saya ingin bertanya kepada penyaji, dimana pada zaman sekarang ini masih banyak kita temukan orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan baik disebut sebagai seorang Ateis, namun banyak juga orang yang tidak memiliki Agama tapi bersifat Religius ? karena menurut saya orang yang telah memiliki keagamaan dan mengimaninya, maka orang tersebut telah terpanggil untuk mengangkat (menolong, peduli) manusia. Dari hal ini menurut penyanji bagaimana seharusnya generasi muda terlebih seperti kita ini yang telah belajar Ilmu Budaya Dasar menyikapi tentang pernyataan diatas. Trimakasih…..:)
Nama : Jon Andre Samuel Damanik
BalasHapusNIM : 15.01.1280
Ting/ jur : I-C/Teologia
Berbicara tentang Mangunwijaya, berarti berbicara tentang humanisme. Kita ketahui bahwa pembicaraan mengenai humanisme selalu aktual dan tidak pernah selesai dibicarakan. Humanisme menuntut pembaruan hidup dan terlebih sikap yang terus-menerus mau menjadi manusiawi dan menghargai kemanusiaan. Dalam konteks manusia Indonesia, humanisme merupakan peziarahan panjang yang harus diusahakan.
Di tengah kepelbagaian kehidupan bangsa Indonesia yang tidak sejahtera, krisis kebangsaan, meningkatnya radikalisme agama, korupsi para pejabat dan wakil rakyat, ketidakpedulian negara terhadap warga, perusakan lingkungan, penggusuran warga demi proyek pembangunan, serta bentuk-bentuk dehumanisme yang lain. Sehingga timbul pertanyaan dalam diri kita yaitu, masih relevankah pemikiran Romo Mangun bagi masyarakat Indonesia masa kini?
Terima Kasih...
menurut penyaji masih relevan, karena masyarakat kini masih ada yang masih menganutnya, meskipun tidak semua orang mampu melakukan aksi pemikiran Romo Mangun, tetapi masih ada yang berpikiran seperti mangun, contohnya kita mahasiswa STT ini, ada kita yang taunya hanya berteori saja, nah kesadaran untuk melakukan seperti yang dilakukan mangun sama sekali belum ada. terimaksih untuk saudara andre. jika jawaban saya kurang memuaskan tolong saudara jumpai saya langsung, karena jujur saya kurang mampu menjlaskan melalui blog, saya pikir lebih efektif saya menjelaskannya dengan tatap muka.
Hapussaya kurang sependapat dengan saudara monalisa yang menyatakan bahwa pemikiran Mangun tersebut relevan dengan masyarakat Indonesia sekarang. Kenapa? karena dari jawaban saudara kita hanya tau berteori tanpa perbuatan. sedangkan kita mengetahui bahwa Romo Wangun adalah orang yang mempunyai teori dan mampu melakukan teorinya tersebut. Kepada saudara penyaji saya harap agar memperjelas jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan.
HapusTerima kasih,
Salam IBD
Nama :Joel Fernando Pasaribu
BalasHapusNIM :14.01.1146
Kelas/Jurusan: II-B Teologia
Syalom Pak.
Dari apa yang kita bahas pada kelompok I-II (setelah UTS), saya sendiri masih mempertanyakan mengenai pemikiran dari Romo Mangun yang maju dan memiliki nilai intelektual yang baik untuk Indonesia.
Pertanyaannya Pak, bagaimana mengaitkan karya-karya tulis dari beliau dengan kehidupan berteologia (gereja-gereja) yang sedang menghadapai dan mendapat konflik dari dalam dan dari luar. Saya mengambil refleksi dari gereja HKI Suka Makmur, Aceh SIngkil. Yang dibakar pada 12Okt (tahun lalu) ?
Dan bagaimana IBD menyikapi kejadian tersebut ?
Terima kasih.
Boris Adi Puttra Manurung
BalasHapusI-C/Theologia
15.01.1224
Dalam pembahasan “Manusia Humanis Menurut Romo Mangun” dalam sajian kedua setelah UTS (04/04/2016), merupakan topik penting dalam pemulihan manusia. Sudah begitu banyak kawan-kawan yang menjelaskan bagaimana Manusia yang humanis itu. Yang dalam pandangan saya Manusia humanis itu adalah memanusiakan manusia, begitu juga Romo mangun menjelaskan dalam karyanya sebagai seorang Pastor Eksklaustrasi, dimana Ia ingin memanusiakan manusia. Artinya ia mau tidak ada kesenjangan antar sesama Manusia, Romo ingin masalah kemanusiaan yang tidak baik dihilangkan. Sehingga Romo selain menulis karyanya dengan harapan dapat membuka pola pikir manusia kearah yang lebih baik, juga langsung terjun kelapangan untuk mewujudkan manusia Humanis (sebagai contoh di desa Kali Code). Jika kita sudah mampu menerapkan sikap seperti Romo mangun dalam masyarakat Indonesia ini, besar harapan Masyarakat indonesia akan Makmur. Tetapi tak semudah yang dibayangkan untuk menerapkan hal itu melihat keadaan bangsa indonesia yang dilanda krisis kemanusiaan dari kalangan masyarakat itu sendiri, juga para golongan pejabat. Namun disini saya melihat masalah kemanusiaan itu bukan hanya masalah kemiskinan, kejahatan, dan masalah-masalah sosial lainnya dalam menyetarakan kehidupan manusia. Saya melihat hilangnya nilai-nilai kemanusiaan itu dikarenakan perbedaan agama, dimana bisa kita lihat masalah antara umat muslim dengan umat Kristen yang masih terjadi konflik bahkan mengakibatkan adanya korban. Yang pada hal seharusnya agama membawa kedamaian dan juga kebaikan. Dari hal ini sudah tampak hilangnya Manusia yang humanis itu. Jadi bagaimana kita harus menanggapi hal ini?.
Nama : Rexy Agriva
BalasHapusNim 15-01-1308
syalom...
jadi dari pemaparan sajian saudara bahwa banyak konsep-konsep yang di paparkan oleh penyaji. Jadi disini saya ingi bertanya kepada penyaji , manakah dari konsep-konsep yang dipaparkan ini yang terpenting bagi kita saat ini? dan apa saja kendala atu rintangan yang dihadapi oleh Romo mangun Wijaya dalam dia memberikan konsep humanis manusia?
terima kasih...
Nama : Desima Simanjuntak
BalasHapusNim :15.01.1239
ting/jur: IC/ TEOLOGI
Syalom...
dalam pembahsan kelompok 2 "Manusia Humanis Menurut Romo Mangun", pada point Dalam konsep Manusia Menurut Kebudayaan Barat, menurut Romo Mangun Wijaya salah satu buah kolonialisme di Indonesia yang posotif ialah rontoknya pandanagan tentang konsep manusia pendidikan feodal model kebudayaan jawa, pendidikan barat yang datang ke indonesia membuat atau mengalami metamorfosa terhadap kebudayaan jawa.
saya ingin memberikan sebuah contoh yang terkait dengan kebudayaan barat yang sangat berdampak buruk bagi kalangan remaja, zaman sekarang ini banyak pelajar SMP dan SMA yang mengenakan seragam sekolah dengan budaya kebarat-baratan atau mengikuti gaya tren selebritis, pada hal tata tertib peraturan sekolahnya tidak memperbolehkan memakai seragam yang membentuk tubuhnya, akibat dari hal ini banyak siswa/siswi yang dikeluarkan dari sekolah, dari hal ini timbul pertanyaan saya kepada kelompok 2 , menurut para penyaji , apa sebenarnya yang harus dilakukan para tenaga didik yang ada di indonesia agar hala ini tidak banyak terjadi dikalangan anak remaja ?, dan bagaimana cara mengatasi agar kebudayaan barat tidak begitu mempengaruhi anak remaja saat ini ?
syalom dan Terimakasih
salam IBD.
Kepada semua mahasiswa-i saya beritahukan, hari ini Sabtu, 09 April 2016, pikul 15.00 wib sore, ruang komen topik bahasan ini resmi saya tutup.
BalasHapusTerimakasih bagi saudara-i yang sudah memberikan komen-nya, dan tetaplah memberikan komen di sajian-sajian berikutnya, hingga sampai sajian ke-7 nantinya, salam IBD.
Syela T. S. Br Bangun
BalasHapusI – C / Teologia
15. 01. 1333
Syalom Pak,
Dalam bahasan mengenai sajian dua yang dapat saya simpulkan bahwa, dalam diri manusia terdapat dua faktor yang mempengaruhi Humanisme seseorang tersebut. Yang pertama adalah Humanisme seseorang yang condong terhadap pendidikan, dimana pendidikan dapat mempengaruhi Humanisme manusia tersebut, bisa kearah yang positif dan bisa kearah yang negatif dan tergantung pada seseorang tersebut memilih yang mana. Karna Humanisme yang condong kepada pendidikan akan selalu berkembang. Yang kedua adalah Humanisme seseorang yang condong terhadap budaya, dimana budaya sangat menentukan baik atau buruknya Humanisme seseorang dari dia lahir sehingga apabila budaya yang dia dapatkan dari lahir adalah budaya yang buruk, maka Humanisme seseorang tersebut juga akan buruk, dan begitu juga sebaliknya apabila budaya yang ditanamkan sejak lahir adalah budaya yang baik, maka Humanisme seseorang tersebut juga akan baik karena budaya tidak bisa berkembang melainkan ditentukan sejak lahir
Syela T. S. Br Bangun
BalasHapusI – C / Teologia
15. 01. 1333
Syalom Pak,
Dalam bahasan mengenai sajian dua yang dapat saya simpulkan bahwa, dalam diri manusia terdapat dua faktor yang mempengaruhi Humanisme seseorang tersebut. Yang pertama adalah Humanisme seseorang yang condong terhadap pendidikan, dimana pendidikan dapat mempengaruhi Humanisme manusia tersebut, bisa kearah yang positif dan bisa kearah yang negatif dan tergantung pada seseorang tersebut memilih yang mana. Karna Humanisme yang condong kepada pendidikan akan selalu berkembang. Yang kedua adalah Humanisme seseorang yang condong terhadap budaya, dimana budaya sangat menentukan baik atau buruknya Humanisme seseorang dari dia lahir sehingga apabila budaya yang dia dapatkan dari lahir adalah budaya yang buruk, maka Humanisme seseorang tersebut juga akan buruk, dan begitu juga sebaliknya apabila budaya yang ditanamkan sejak lahir adalah budaya yang baik, maka Humanisme seseorang tersebut juga akan baik karena budaya tidak bisa berkembang melainkan ditentukan sejak lahir
RIBKA MAIDA
BalasHapus15.01.1310
SYALOM
Dalam pemahaman saya untuk perikop ini bahwa Membangun Humanisme harus didasarkan dari Mampunya mengendalikan diri dari hal yang sifatnya memikirkan egois individual, artinya dituntut untuk melihat dan merasakan melalui sikap PEDULI.
Nama : Chandra Syahputra Pasaribu
BalasHapusNIM : 15-02-568
Ting/Jur : 1/PAK
Berbicara membangun nilai-nilai kemanusiaan tentu sangat menarik sekali di untuk diperbincangkan karena hal ini tidak mudah di terapkan, seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali orang yang berbicara tentang hal-hal yang membangun nilai-nilai kemanusiaan namun sedikit yang menerapkannya.
Contoh : Layaknya Nabi-Nabi palsu yang menceritakan hal-hal yang benar kepada banyak orang, seakan-akan dialah yang paling benar namun penerapannya dalam kehidupan tidak ada sama sekali. Begitu juga dengan kita sebagai hamba Tuhan yang akan melayani di masyarakat.
Dari tanggapan saya di atas apa tanggapan para penyaji ?Apakah kita hanya berbicara tanpa harus berbuat? Dan kalau memang kita ingin berbuat hal-hal yang membangun nilai-nilai kemanusiaan, langkah apa yang sepatutnya kita lakukan sebagai pada mahasiswa pada saat ini?
Syalom bagi kita semuanya, maaf sebelumnya atas kehadiran saya. Saya ingin mengingatkan bagi kita semua agar memperhatikan dari 2.2.3 disana ada dicantumkan isi butir-butir pancasila tetapi mohon diperhatikan urutannya yaitu pada uru 3 dan 5. Terima kasih sekedar mengingatkan kita sebagai dasar negara kita ini. Mohon maaf sebelumnya, jika saya yang salah sama-sama kita memperbaikinya. Syalom.
BalasHapus