Nama : Kelompok 3
1. Sri Ervina Br Tarigan
2. Ima Susi Susanti Br Sembiring
3. Natalia Br Sitepu
Tkt/Jur : I/PAK
M.Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
Dosen :
Pdt. Edward Simon Sinaga, M.Th
PASEMON
DALAM
SASTRA KARYA ROMO MANGUN
I.
PENDAHULUAN
Pasemon
ialah istilah dari bahasa sastra Jawa tradisional, yang merupakan istilah gaya
perbandingan yang mirip dengan alusio. Pasemon berupa ucapan atau ungkapan
untuk menggambarkan suatu keadaan (dalam karya sastra atau pembicaraan umum)
yang mengingatkan orang kepada peristiwa sejarah, dongeng, atau mitos yang
pernah terjadi dan diketahui umum. Pada paper ini akan kami paparkan mengenai
Pasemon dalam sastra karya Romo Mangun, yang dimana Romo Mangun memiliki sastra
karya Roman dan Novel.
II.
PEMBAHASAN
2.1
Karya-Karya
Romo Mangun
Bakdi Soemanto,
Membaca novel-novel Romo Mangun sembari mengenang sosok beliau, ia menemukan
kesejajaran. Karena itu, ia segera paham
kenapa skripsi-skripsi S-1 yang mengulas karya Romo Mangun, lebih-lebih
yang berjudul Romo Rahadi (1981)
mahasiswa pun dengan serta merta menghubungkan
isi maupun isu novel dengan kehidupan pribadi beliau. Secara mentereng,
mahasiswa-mahasiswa itu menggunakan teori ekspresi, yang akrab dalam jagat
pikir semangat zaman romantisme.
Walaupun Roland
Barthes (1967) kadang-kadang susah melupakan senyuman Romo Mangun ketika
membaca bagian awal dari Burung-Burung
Manyar. Gambaran yang dihadirkan tentang seorang bocah sebagai anak kolong
menimbulkan tafsir common sense bahwa setidaknya Romo Mangun melihat pengalaman
seperti itu. Tetapi, kemudian ia membantah sendiri pendapat itu. Kalau toh
dugaan common sense itu benar, tafsir
itu hanyalah satu. Sebab, seperti penggemar sastra juga memahami bahwa karya
sastra adalah multilayers. Apa
artinya ini? Bahwa karya Romo Mangun terkandung didalamnya banyak arti. Ia
ingin meneladani weltanschauung Romo
bahwa ulasan ini terbuka. Dengan meminjam istilah Romo Mangun sendiri, esai ini
ditulis dengan semangat “Pasca Einsten”. Jelasnya, tak ada dalam esai ini yang
bisa dikatakan “defenitif”.[1]
2.2
Roman,
Mitologi, dan Novel
Saya merasa
sudah bukan saatnya lagi membedakan Antara Roman dan Novel (Umar Kayam). Romo
Mangun, sebagai seorang pastor, menulis roman. Baru dari sini saja sudah cukup
mengejutkan. Bagi Romo, roman adalah genre sastra yang lebih bebas ketimbang
mitologi. Kalau demikian, logika lumrah agak susah menerima kenyataan ini.
“Mestinya”, Romo menuliskan kembali cerita-cerita dari Kitab Suci, sehingga
seperti dalam khotbah, cerita Romo bisa menyambungkan hidup masa kini dengan
pengalaman religiostas orang-orang, baik yang ditulis didalam kitab Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru.
Tetapi dalam
kenyataan, Romo menulis roman, sebuah bentuk sastra baru, yakni yang posisinya
berseberangan dengan mitologi. Jika mitologi menjaga komunitas agar tetap
terikat oleh semangat kebersamaan, bahkan manusia dengan Tuhan, roman tidak
demikian. Ia membebaskan diri dari ikatan-ikatan komunitas dan melakukan
penjelajahan kemana-mana. Mungkin bahkan, walaupun buku Burung-Burung Manyar ditulis sebagai “sebuah roman” ketika saya
cecap-cecap karya ini lebih terasa sebagai sebuah novel, yakni “roman yang
diperbaharui”. Novel lebih bebas lagi ketimbang roman yang masih suka cerita
tentang kisah-kisah Zarathustra, Sidharta, dan lain-lain. Dalam roman, jagat
ini dibayangkan sebagai dibawah kanopi alias langit yang sama.
Walaupun roman
sudah lebih merdeka ketimbang mitologi, tetapi novel lebih banyak menunjukkan adventure. Salah satu contohnya: Robinson Crusoe, Gulliver’s Travels, Oliver
Twist, Sons and Lovers, The Girl with a
Blue Blouse dan lain-lain yang tokoh-tokohnya taking risk. Dalam sastra Indonesia, kita mengenal Sitti Nurbaya, sebuah roman, yang
jagatnya sangat terbatas. Walaupun ada tokoh “antagonis” seperti Datuk
Meringgih, tetapi ia adalah a neighbour’s
living next door. Beda dengan Keluarga
Gerilya, Mereka yang Dilumpuhkan,
Bumi Manusia, Para Priayi, Saman, Putri, dan lain-lain. Romo Mangun menulis
sastra masa kini yang jagatnya tinarbuka dan
kadang-kadang “penuh dengan risiko”.
Saya kira hampir
semua penggemar sastra paham bahwa “novel” adalah genre sastra yang munculnya
berkesejajaran dengan lahirnya “kelas menengah” di Eropa. Kelas sosial itu
butuh “genre” sastra sendiri yang bukan seperti roman, tetapi sastra yang
puitikannya bersemangatkan kehidupan nyata adalah kehidupan “baru” yang bukan
murni high society maksudnya dari
lingkungan istana tetapi dari komunitas baru, yang disebut “kelas menengah”
itu. Maka, secara teoritik saat itu adalah saat munculnya sastra realis. Isu
sastra yang “gayanya” realis, tentu saja, seperti dikemukakan oleh Von Eurbach
cenderung menampilkan isu masalah-masalah kelas menengah, bukan yang dari high society ataupun lower society. Novel Manyar (1981) dan Romo Rahadi (1981) menampilkan gambaran kehidupan yang untuk
meminjam kata-kata Bung Karno, deskripsi tentang vivere pericoloso. Maksudnya, hidup yang nyrempet-nyrempet bahaya alias mengambil banyak risiko.
Apa yang
dimaksud dengan “penuh risiko” adalah keberanian Romo dalam mengekspresikan
yang dipikirkannya. Jakob Sumardjo berkomentar bahwa Burung-Burung Manyar
adalah novel yang objektif dalam melihat revolusi Indonesia. Bahkan, cenderung
dari kacamata Belanda. Tokoh protagonisnya pun, walau orang Indonesia, bersikap
kritis terhadap Republik dan bahkan anti-Republik.
Novel Manyar terbit pertama kali tahun 1981. Itu
tahun yang antara lain ditandai dengan gencarnya Pusat Bahasa Jakarta membujuk
publik untuk menggunakan “Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”. Berangkat dari
“konsep” ini, tampak bahwa bahasa novel Manyar adalah Bahasa Indonesia, yang
menurut James Ridder, dipandang sebagai a
sloppy language. Dalam bahasa
Indonesia barangkali bisa disebut “Bahasa Indonesia Ceroboh”. Walaupun di novel
lain, misalnya Trilogi Roro Mendut,
Romo mencerca kebudayaan Jawa yang feodalistik, seperti ditunjukkan oleh
suasana kekuasaan Mataram, tetapi novel Manyar
penuh dengan kosa kata Jawa, hingga butuh penjelasan khusus untuk itu.
Tiga hal sudah
kita saksikan: pertama genre dan yang
kedua bahasa dan ketiga isu. Dari sini tampak, novel Manyar ditulis dengan tanpa beban. Ada
perasaan merdeka disana. Kalau memang dalam Republik ada orang-orang yang
konyol dan ide tentang republik itu sendiri absurd,
kenapa harus ditahan untuk mengatakan itu, bahwa orang lain punya pendapat
lain, ya silahkan saja. Disini saya merasakan betul kemerdekaan yang
dicontohkan oleh novel ini.
Isu novel ini
dikemukakan pada awal ketika protagonis itu, si Setadewa alias Teto bahwa ia
kumpeni. Walaupun sebenarnya ia masih keturunan raja-raja Mangkunagaran. Dialah
yang disebut dalam novel Manyar sebagai
Kakrasana alias Balarama atau Baladewa yang sering disebut si Bule, karena
kulitnya putih.
Dalam jagat
wayang, walaupun Kakrasana adalah kakak Krishna yang menjadi pengatur strategi
keluarga Pandawa, Kakrasana berpihak pada Korawa. Dengan mengambil jarak dari
Pandawa, Kakrasana alias si Setadewa bisa bersikap kritis dan objektif dalam
memandang Pandawa.
Pandangan
“bebas” sebenarnya sudah tampak pada novel Romo
Rahadi(1981) yang terbitnya bersama dengan Manyar. Seperti semua pembaca sudah tahu, novel ini menghadirkan
Romo Rahadi sebagai protagonis. Seperti banyak saya dengar dari para room yang akhirnya melepas jubahnya,
Romo Rahadi juga mengalami keterombang-ambingan antara cita-cita hidup selibat
atau hidup berkeluarga. Mula-mula Rahadi berhubungan dengan Hildegaard dan
bahkan Rahadi sempat memegangi punggungnya (dan ketiaknya) yang lembab oleh
keringat dan tindakan-tindakan lain yang lebih jauh. Kemudian, ia bertualang
dengan Rosi. Yang kedua ini, settingnya
di Papua.
Bagi saya,
membaca novel Romo Rahadi mirip dengan cerita atas dasar kenyataan kisah para
Romo yang terombang-ambing, bahkan bisa sampai membuntingi perawan. Tetapi,
keberanian Romo Mangun adalah ketegarannya dalam mengekpresikan pengalaman ini,
yang biasanya disembunyikan. Orang baru tahu setelah Romo itu keluar atau
diberitakan mempunyai anak. Dan yang lebih meyakinkan siapa Romo Mangun adalah
moto yang dikutip dalam buku ini: “Bukankah hari Tuhan itu kegelapan dan bukan
terang, kelam kabut dan tiada cahaya?” (Amos 5:20). Yang lebih dahsyat adalah ini:
“Keragu-raguan adalah sebentuk penghormatan kepada keberanian..” (Ernest
Renan). Moto ini mengingatkan saya kepada sepucuk surat sangat pendek Albert
Camus kepada seorang perempuan (mungkin pacarnya): “It is not simply a happiness that I wish for today, rather a despair in
grandeur...”. Inti dari dua moto itu merupakan inti dari novel Romo Rahadi.[2]
2.3
Isu
Pokok atau Sub Isu Novel-Novel Romo Mangun
Saya menemukan
keberanian di satu pihak dan keraguan pada pihak lain, sedikit atau banyak
terus-menerus muncul sebagai isu pokok atau sub isu dari novel-novel Romo yang
lain. Pada Trilogi Roro Mendut
keberanian dan keraguan itu terasa pula sangat jelas. Roro Mendut memang tegar
menolak Tumenggung Wiroguna, akan tetapi bukan dalam arti tanpa kegemetaran.
Hal yang sama juga tampak pada Genduk
Duku.
Memang
digambarkan dengan sangat jelas oleh
novel itu bahwa mendut adalah seorang perempuan pemberani, pemberontak, dan
memiliki sifat kelaki-lakian. Ini berbeda dengan pelukisan Mendut dalam Serat, yang lebih memuja kepada
bagian-bagian fisiknya, misalnya mulut, hidung, rahang, pipi, gigi, jari,
ketiak, dan lain-lain. Akan tetapi, Serat
Roro Mendut Pranacitra juga
menggambarkan bahwa perempuan dari Pathi itu tidak mudah tergiur oleh kekayaan
yang berlimpah. Supriyadi (2014:89) dalam disertasinya menggambarkan bahwa Roro
Mendut “lebih mementingkan nilai cinta daripada benda”.
Novel yang
ditulis Romo Mangun mempertegas watak Mendut dan sekaligus “mendekonstruksi”
gambaran yang ada di dalam Serat dengan
mengungkap kandungannya dari dalam: ia seorang perempuan pemberani, bahkan
pemberontak. Serat menggambarkan
bahwa Mendut ibarat Subodro dalam pewayangan. Ia istri Arjuna yang serba
menurut. Novel menyajikan Mendut sebagai Srikandi, istri Arjuna kedua yang
sekaligus seorang pendekar dan ahli memanah. Jika demikian, sudah klop antara
pembuka novel yang melukiskan ombak yang menyenandungkan himne kebebasan abadi
dengan gambaran tentang Mendut. Keberanian Mendut untuk bilang “tidak” dan
menolak menjadi a yes woman dan
perawan yang dalam posisi “koma” bukan suatu rekayasa kebudayaan,tetapi justru
sifat-sifat alami. Dan Mendut dalam Serat
justru mungkin suatu produk kebudayaan feodal. Dalam Manyar, setadewa alias
Teto, si Kakrasana yang bule itu, juga menolak feodalisme. Ia lebih suka berorientasi
ke Barat seperti Sutan Takdir Alisyahbana yang menulis novel Layar Terkembang dengan menampilkan
tokoh Tutty yang secara tajam mengkritik lakon Sandyakala Ning Majapahit yang ditulis oleh Sanusi Pane. Kritik
Tutty menukik kepada tone atau sikap
karya kepada kehidupan. Dalam hal ini, Sandyakala
melukiskan pesimisme. Tak hanya itu, Sutan Takdir Alisyahbana juga menulis
sebuah puisi dengan judul “Menuju Ke Laut” yang bebas luas dan ombaknya
menantang.
Dari sini
tampaklah bahwa Manyar, Romo Rahadi,
Mendut, adalah novel-novel yang saling berkait. Saya belum sempat melakukan
penelitian bagaimana keterkaitan novel-novel itu, tetapi yang tampak jelas
sekilas ada ideologi yang sama: yakni kemerdekaan. Dan di dalam kemerdekaan
itu, tokoh-tokoh menemukan makna kemanusiaan yang sekaligus ada kebesaran,
kebanggaan, dan kecemasan, bahkan keterombang-ambingan.
Dalam novel Romo Rahadi, gambaran kemanusiaannya ada pada keterombang-ambingan itu,
yang menegaskan justru mousike,
pinjam istilah Plato, atau poetry pinjam
istilah Jacques Maritain atau daya getar novel itu.
Dengan
kemerdekaan sebagai isu yang hadir dalam roman atau novel yang bersifat bebas
mempertanyakan yang dogmatik dan defenitif, novel mengajak pembaca menjelajah
ke jagat dalam yakni suatu terra
incognita yang belum pernah kita kenali sebelumnya. Dan ini terjadi, karena
secara konvensional seorang Indonesia harus berpihak kepada Republik, tetapi Manyar mempertanyakan. Membaca Romo Rahadi, saya sebagai seorang
Katolik, tercengang karena keterombang-ambingan disajikan dengan terbuka oleh
imam Katolik. Sekian ratus tahun yang lalu, ketika saya pertama kali makarya di IKIP Sanata Dharma (Sebelum
Menjadi Universitas Sanata Dharma) oleh frater-frater di Kenthungan, saya
diminta menulis lakon yang bersumber dari buku Fear and Trembling, Sickness
unto Death yang ditulis Soren Kierkergaard. Sandiwara satu babak itu
dimainkan pada “Malam Ekspresi” dan mendapat tepuk tangan meriah dari penonton
dan konon diminta dimainkan dibeberapa tempat. Tetapi, satu minggu kemudian
saya dipanggil Romo Rektor dan diberitahu bahwa sebaiknya seorang dosen calon
guru tidak menulis lakon seperti itu. Saya tidak tahu, bagaimanakah sebenarnya pandangan para Romo terhadap novel
Romo Rahadi. Tetapi, lepas dari itu
semua, keterombang-ambingan sangat-sangat manusiawi. Saya sekarang pun,
menikmati keterombang-ambingan itu.
Pada novel Burung-Burung Rantau (1993), saya
berjumpa dengan seorang tokoh yang juga gandrung akan kemerdekaan. Di dalam
novel itu, Marineti alias Neti, si Penggandrung kebebasan itu, digambarkan
sebagai tokoh yang “mewakili bangsa manusia yang membebaskan diri dari
komunitas yang percaya pada takhayul dan terkurung”.[3]
2.4
Pikiran
Tambahan Khas Romo Mangun Dalam Novelnya
Ada lagi pikiran
tambahan yang khas Romo Mangunwijaya. Apakah novel-novel yang sudah saya sebut
itu menyentuhkan religiositas? Saya kira sangat jelas. Ketika sastra
menempatkan manusia sebagai mahluk yang bermartabat dan berharga, saat itulah
sastra telah menyentuh aspek terdalam, dalam pengalaman manusia: religiositas.
Pada titik yang muncul empati yang bisa antara lain mewujud dalam bentuk
pemberdayaan, seperti misalnya Roro Mendut, Atik, Neti, dan lain-lain. Salah
satu isu dalam Mendut, antara lain tentang perempuan, tidak pas dicermati
dengan perspektif feminisme tetapi juga ada rasa keilahian karena penghormatan
kepada sesama.
Ada tambahan
penting yang tak boleh dilupakan: Romo, dalam menghadirkan tokoh-tokoh dan
menyajikan gambaran berbagai macam fenomena kehidupan tidak seperti mereka yang
menganut teologi moral tidak black
and white, tetapi utuh: ada putih dan
ada hitamnya. Dalam Burung-Burung Rantau
misalnya, pada adegan dialog antara Neti dan Krishna. Dikatakan oleh sang
keturunan brahmana itu bahwa: “siapa yang
ingin menikmati fajar, harus juga mau
menikmati senja hari. Keduanya satu
paket, dua kutub satu bola”. Pada novel Mendut, walaupun dalam hipogramnya:
Serat Roro Mendut Pranacitra, Tumenggung Wiraguna digambarkan tua, ompong
sekaligus bengis, tetapi dalam novel ia tampil sebagai Rsi Bhisma yang
menghadapi Srikandhi sebagai jilmaan Dewi Amba.
Roman dan novel,
beda dengan mite, mitologi, dan legenda adalah karya sastra dari kebudayaan
menulis. Karya-karya Romo akan sangat efektif bagi kaum terpelajar yang rajin
membaca. Pandangan utuh tentang manusia yang tidak hitam putih sangat
membebaskan pembaca dari wawasannya yang stereotipikal.[4]
III.
ANALISA
KELOMPOK
Dari
pemaparan diatas, kami kelompok 3 menganalisa “Pasemon” dalam Sastra Karya Romo
Mangun, yang dimana Sastra Karya Romo Mangun, Roman dan Novel didalamnya
merupakan pasemon atau ungkapan, ucapan yang menggambarkan suatu keadaan yang
mengingatkan orang kepada peristiwa sejarah, dongeng, atau mitos yang pernah
terjadi. Romo Mangun adalah seorang Pastor yang banyak menulis Roman dan Novel.
Sastra
Karya Roman Romo Mangun ialah Sitti Nurbaya. Sastra Karya Novel Romo Mangun
ialah Burung-Burung Manyar yang terbit
pada tahun 1981, selanjutnya Trilogi Roro Mendut, Romo Rahadi dan lain-lain.
Romo
Mangun Wijaya mengungkapkan pikirannya, dalam novel-novel yang ia buat yang
menyentuh religiositas. Jelas, ketika
sastra menempatkan manusia sebagai mahluk yang bermartabat dan berharga, saat
itulah sastra telah menyentuh aspek terdalam dalam pengalaman manusia:
religiositas. Pada titik yang muncul empati antara lain yang mewujud dalam
bentuk pemberdayaan, seperti misalnya Roro Mendut. Salah satu isu dalam Mendut,
antara lain tentang perempuan, tidak pas dicermati dengan perspektif feminisme
tetapi juga ada rasa keilahian karena penghormatan kepada sesama.
Romo
dalam menghadirkan tokoh-tokoh dan juga menyajikan gambaran mengenai fenomena
kehidupan tidak seperti mereka yang menganut teologi moral, tidak black and
white, tetapi utuh: ada putih dan ada hitamnya. Dalam Burung-Burung Hantu, pada
adegan dialog antara Neti dan Krishna dikatakan, “siapa yang ingin menikmati
fajar, harus juga mau menikmati senja hari. Keduanya satu paket, dua kutub satu
bola”.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Mangunwijaya,
Y. B., Humanisme, Jakarta: Buku Kompas,
2015
Nama : Dina Erika Saragih
BalasHapusPirta Niska Sinaga
Suci Jiwana
Ting/Jur : I/PAK
Syalom Kami dari Kelompok V sebagai pembanding
Romo Mangun, sebagai seorang pastor, menulis roman. Baru dari sini saja sudah cukup mengejutkan. Bagi Romo, roman adalah genre sastra yang lebih bebas ketimbang mitologi. Kalau demikian, logika lumrah agak susah menerima kenyataan ini. “Mestinya”, Romo menuliskan kembali cerita-cerita dari Kitab Suci, sehingga seperti dalam khotbah, cerita Romo bisa menyambungkan hidup masa kini dengan pengalaman religiostas orang-orang, baik yang ditulis didalam kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Romo Mangun dalam moto yang dikutip dalam buku ini: “Bukankah hari Tuhan itu kegelapan dan bukan terang, kelam kabut dan tiada cahaya?” (Amos 5:20). Yang lebih dahsyat adalah ini: “Keragu-raguan adalah sebentuk penghormatan kepada keberanian..” (Ernest Renan). Moto ini mengingatkan saya kepada sepucuk surat sangat pendek Albert Camus kepada seorang perempuan (mungkin pacarnya): “It is not simply a happiness that I wish for today, rather a despair in grandeur...”.
1. Ini adalah moto hidup Romo Mangun "Bukankah hari Tuhan itu kegelapan dan bukan terang, kelam kabut dan tiada cahaya?” apa sebenarnya arti dan makna moto Mangun tersebut?
2. Dalam penulisan novel yang dituliskan Mangun “siapa yang ingin menikmati fajar, harus juga mau menikmati senja hari. Keduanya satu paket, dua kutub satu bola”. penulisan ini sangat menarik pasti ada latarbelakang penulisan novel ini apa maksudnya?
3. Mahasiswa secara terang menderang menggunakan teori ekspresi, yang akrab dalam jagat pikir semangat zaman romantisme Apakah maksud pemikiran mahasiswa ini dalam zaman romantisme?
4. Jakob Sumardjo berkomentar bahwa Burung-Burung Manyar adalah novel yang objektif dalam melihat revolusi Indonesia. Bahkan, cenderung dari kacamata Belanda. Tokoh protagonisnya pun, walau orang Indonesia, bersikap kritis terhadap Republik dan bahkan anti-Republik. Ada juga dalam penulisan novel ini ada kata-kata penuh resiko, apakah penulisan novel ini mau mengkritik kepemimpinan Belanda pada zaman penjajahan?
5. Tiga hal sudah kita saksikan: pertama genre dan yang kedua bahasa dan ketiga isu. Dari sini tampak, novel Manyar ditulis dengan tanpa beban. Ada perasaan merdeka disana. Kalau memang dalam Republik ada orang-orang yang konyol dan ide tentang republik itu sendiri absurd, kenapa harus ditahan untuk mengatakan itu?
6. Apa isu Pokok atau Sub Isu Novel-Novel Romo Mangun? Coba para penyaji menjelaskan?
Masukan dari kelompok kami
1. Mangun adalah adalah seorang sastrawan dengan karya-karyanya Romo Rahadi, Roro Mendut, Durga Umayi, Burung-Burung Rantau, Pohon Sesawi. Di suatu saat dia adalah seorang arstitek handal. Dia pernah mendapatkan penghargaan Agha Khan Award, yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi kali Code, Yogyakarta. Namun di suatu saat dia juga berdiri membela kalangan marginal, karena kami melihat kelompok ini belemum memasukannya apa yang menjadi masukan kami.
2. Novel yang di tuliskan Mangun dengan Burung-burung manyar banyak menceritakan tentang hidup yang sangat membangun para pembaca khususnya kalangan mahasiswa tetapi kelompok ini tidak menjelaskan apa yang menjadi bahan yang terpenting dalam novel ini.
Nama : Elisenta Br Tarigan
BalasHapusNIM; 15.02.570
Dari kegigihan Romo Mangun, selain pastor dia juga seorang arsitek yang hebat dan juga seorang yang ahli dalam sastra dan seorang penulis novel yang hebat juga. Disini kita diajak dan ditekan kan kepada kita semua untuk gigih dan tetap berjuang dalam menggapai suatu hal yang ingin kita tunjukan kepada keluarga masyarakat dan bahkan kepada dunia ini. Dan disini juga kita diajak untuk saling menghargai dan menjaga nilai kemanusiaan. Dimana kebanyakan anak muda pada masa ini hanya memperjuangkan harga dirinya saja sedangkan nilai dirinya ditinggalkannya bahkan tidak diperdulikannya. Hal tersebut lah harus kita perubahi dan kita tunjukan kepada masyarakat lain bahwa nilai diri lah yang paling penting disbanding dengan harga diri. Kita harus bisa mencapai nilai diri kita terlebih dahulu baru kita bisa mencapai harga diri kita.
Terimakasih, SYALOM
SALAM IBD
Nama : Ruspita Sari Br Bangun
BalasHapusNIM; 15.02.583
Romo Mangun Wijaya mengungkapkan pikirannya, dalam novel-novel yang ia buat yang menyentuh religiositas. Jelas, ketika sastra menempatkan manusia sebagai mahluk yang bermartabat dan berharga, saat itulah sastra telah menyentuh aspek terdalam dalam pengalaman manusia: religiositas. Pada titik yang muncul empati antara lain yang mewujud dalam bentuk pemberdayaan, seperti misalnya Roro Mendut. karya Romo Mangun terkandung didalamnya banyak arti. Ia ingin meneladani weltanschauung Romo bahwa ulasan ini terbuka. Dengan meminjam istilah Romo Mangun sendiri. saya ingin bertanya disini dikatakan apa itu pasca Einsten tolong saudara penyaji jelaaskan.
Terimakasih, SYALOM
SALAM IBD
nama:suci jiwana
BalasHapusnim:15.02.586
Tkt/jur:I/PAK
dalam sajian ini membahas tentang PASEMON
DALAM SASTRA KARYA ROMO MANGUN, dan yang menjadi pertanyaan saya yaitu dibagian pikiran khas romo mangun dalam novelnya, fenomena kehidupan tidak seperti mereka yang menganut teologi moral tidak black and white, tetapi utuh: ada putih dan ada hitamnya. Dalam Burung-Burung Rantau misalnya, pada adegan dialog antara Neti dan Krishna. Dikatakan oleh sang keturunan brahmana itu bahwa: “siapa yang ingin menikmati fajar, harus juga mau menikmati senja hari. Keduanya satu paket, dua kutub satu bola”. yang dimaksud dengan menganut teologi moral tidak black and white itu seperti apa dan berikan contohnya
Nama : Tuah Ginting
BalasHapusNIM : 15. 02.588
Melaui pembelajaran kali ini saya melihat begitu besarnya perjuangan Romo Magun terhadap orang-orang yang miskin atau orang yang tertindas. Ia tidak hanya melayani orang-orang miskin secara langsung ke lapangan tetapi ia juga menuliskan karya sastra yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan, yang tujuannya untuk menciptakan kesejajaran terhadap semua orang tanpa terkecuali. Dengan demikian karya tersebut ingin mengkritik sistem pemerintahan yang di jalankan oleh para pemimpin-pemimpin yang hanya mementingkan dirinya sendiri atau orang yang terpandang saja, sehingga melalui karya itu mereka lebih memperdulikan orang-orang yang membutuhkan bantuan atau pertolongan.
Salam IBD
Nama :Ezra Lumban Tobing
BalasHapusNim :15.02.573
Tkt/Jur: I/PAK
Romo mangun adalah seorang pastor yang menulis di roman dan romo menuliskan kembali cerita-cerita dari Kitab Suci, sehingga seperti dalam khotbah, cerita Romo bisa menyambungkan hidup masa kini dengan pengalaman religiostas orang-orang, baik yang ditulis didalam kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. semua penggemar sastra paham bahwa “novel” adalah genre sastra yang munculnya berkesejajaran dengan lahirnya “kelas menengah” di Eropa. Kelas sosial itu butuh “genre” sastra sendiri yang bukan seperti roman, tetapi sastra yang puitikannya bersemangatkan kehidupan nyata adalah kehidupan “baru” yang bukan murni.Novel yang ditulis Romo Mangun adalah untuk mempertegas watak Mendut dan sekaligus “mendekonstruksi” gambaran yang ada di dalam Serat dengan mengungkap kandungannya dari dalam: ia seorang perempuan pemberani, bahkan pemberontak. Serat menggambarkan bahwa Mendut ibarat Subodro dalam pewayangan.Dari sinilah tampaklah bahwa Manyar, Romo Rahadi, Mendut, adalah novel-novel yang saling berkaitan.
Nama : Yohanes Simatupang
BalasHapusNIM :15.02.590
Ting/Jur: I/PAK
Melalui sajian ini, saya melihat begitu besarnya perjuangan Romo Magun terhadap orang-orang yang miskin atau orang yang tertindas. Ia tidak hanya melayani orang-orang miskin secara langsung ke lapangan tetapi ia juga menuliskan karya sastra yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan, yang tujuannya untuk menciptakan kesejajaran terhadap semua orang tanpa terkecuali. Dari kegigihan Romo Mangun, selain pastor dia juga seorang arsitek yang hebat dan juga seorang yang ahli dalam sastra dan seorang penulis novel yang hebat juga. Disini kita diajak dan ditekan kan kepada kita semua untuk gigih dan tetap berjuang dalam menggapai suatu hal yang ingin kita tunjukan kepada keluarga masyarakat dan bahkan kepada dunia ini. Trimakasih
Nama : Laury Fransiska
BalasHapusNIM : 15.02.577
Syalom
Pasemon
dalam sastra karya romo mangun
Pasemon ialah istilah dari bahasa sastra Jawa tradisional, yang merupakan istilah gaya perbandingan yang mirip dengan alusio. Pasemon berupa ucapan atau ungkapan untuk menggambarkan suatu keadaan yang mengingatkan orang kepada peristiwa sejarah, dongeng, atau mitos. karya Romo Mangun terkandung didalamnya banyak arti. Ia ingin meneladani weltanschauung Romo bahwa ulasan ini terbuka.Romo Mangun, sebagai seorang pastor, menulis roman., roman adalah genre sastra yang lebih bebas ketimbang mitologi. Romo menuliskan kembali cerita-cerita dari Kitab Suci, sehingga seperti dalam khotbah, cerita Romo bisa menyambungkan hidup masa kini dengan pengalaman religiostas orang-orang, baik yang ditulis didalam kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.Walaupun roman sudah lebih merdeka ketimbang mitologi, tetapi novel lebih banyak menunjukkan adventure.Jakob Sumardjo berkomentar bahwa Burung-BurungManyar adalah novel yang objektif dalam melihat revolusi Indonesia. Bahkan, cenderung dari kacamata Belanda. Tokoh protagonisnya pun, walau orang Indonesia, bersikap kritis terhadap Republik dan bahkan anti-Republik.tambahan yang khas Romo Mangunwijaya. Apakah novel-novel yang sudah saya sebut itu menyentuhkan religiositas? Saya kira sangat jelas. Ketika sastra menempatkan manusia sebagai mahluk yang bermartabat dan berharga, saat itulah sastra telah menyentuh aspek terdalam, dalam pengalaman manusia: religiositas.dalam menghadirkan tokoh-tokoh dan menyajikan gambaran berbagai macam fenomena kehidupan tidak seperti mereka yang menganut teologi moral tidak black and white, tetapi utuh: ada putih dan ada hitamnya.Roman dan novel, beda dengan mite, mitologi, dan legenda adalah karya sastra dari kebudayaan menulis. Karya-karya Romo akan sangat efektif bagi kaum terpelajar yang rajin membaca. Pandangan utuh tentang manusia yang tidak hitam putih sangat membebaskan pembaca dari wawasannya yang stereotipikal.
Jadi Pasemon dalam sastra karyaromo mangun adalahmenempatkan manusia sebagai mahluk yang bermartabat dan berharga, saat itulah sastra telah menyentuh aspek terdalam, dalam pengalaman manusia: religiositas. Pada titik yang muncul empati yang bisa antara lain mewujud dalam bentuk pemberdayaan, seperti misalnya Roro Mendut, Atik, Neti, dan lain-lain. Salah satu isu dalam Mendut, antara lain tentang perempuan, tidak pas dicermati dengan perspektif feminisme tetapi juga ada rasa keilahian karena penghormatan kepada sesama.
Nama : Sri Ervina Br Tarigan
BalasHapusNIM : 15.02.585
Syalom
Saya sebagai penyaji sajian ini "PASEMON DALAM SASTRA KARYA ROMO MANGUN"
Saya menuliskan jawaban atas pertanyaan saudara-saudari yang bertanya di kelas
1. Saudara Candra Syahputra Pasaribu
Essai yang ditulis dengan semangat pasca Einstein yaitu essai yang ditulis untuk menekankan manusia dalam menanggapi suatu masalah dengan bersikap perduli dan solider (mempunyai dan memperlihatkan perasaan bersatu) terhadap sesama manusia.
2. Saudari Elisenta Br Tarigan
Hal yang membuat Romo Mangun ingin menuliskan novel adalah ingin membuat pembaca terjamah hatinya akan makna yang ia dapat dari novel yang romo mangun tuliskan dengan makna didalamnya yaitu menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Semua manusia sama, sejajar. Manusia mesti dimanusiakan khususnya rakyat kecil.
3. Saudara Timothy P. Saragi
Romo Mangun dikenal sebagai Rohaniawan, budayawan, arsitek, penulis, dan pembela wong cilik (rakyat kecil). Romo mangun dalam menulis novelnya yaitu novel Romo Rahadi yang mirip dengan cerita atas dasar kenyataan kisah para Romo yang terombang-ambing karena seorang romo sangat mengalami yang namanya merasakan panggilan Tuhan kepadanya untuk hidup percaya dan berdevosi kepada Tuhan. Dalam novelnya ia sangat memikirkan pelayanannya yang melayani Tuhan juga manusia terkhusus rakyat kecil. Romo Mangun menulis dengan struktur sastra yang Roman dan Novel. Romo mangun sosok pendongeng yang murah hati. Ia bercerita dengan lincah dan dengan gaya bahasa sederhana sehingga pembaca dengan mudah menyelami isi novelnya. Dimana didalam novelnya selalu terkandung Nilai-nilai kemanusiaan.
4. Saudara Elia Br Pelawi
Logika lumrah atau biasa agak susah menerima kenyataan tentang mitologi yang dimana mitologi berbentuk sastra yang mengandung konsepsi atau dongeng mengenai kehidupan dewa dan mahluk halus dalam suatu kebudayaan.
Syalom
HapusDisini saya menuliskan jawaban atas pertanyaan saudari yang bertanya di ruang komentar sajian kami
1. Saudari Ruspita Sari Br Bangun
Pasca Einstein yaitu zaman yang menekankan manusia dalam menanggapi suatu masalah dengan bersikap perduli dan solider (mempunyai dan memperlihatkan perasaan bersatu) terhadap sesama manusia.
2. Saudari Suci Jiwana Br Sembiring
Teologi moral adalah sebuah etika religius yang berkenaan dengan bagaimana seseorang itu akan bertindak. Tidak hitam dan tidak putih maksudnya dalam menganut teologi moral harus ada hitam dan putih yang artinya harus merasakan pahit dan manisnya kehidupan. Dengan contoh romo mangun sendiri, beliau sangat menganut teologi moral dalam hidupnya, dia siap merasakan pahit agar ia merasakan manisnya karena ia dapat mewujudkan manusia yang humanis.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Chandra Syahputra Pasaribu
BalasHapusNIM : 15-02-568
Mangun Wijaya benar-benar ahli dalam sastra yang mengandung kata-kata yang membangun nilai moral. Novel-novel Romo Mangun memang tidak dianggap dalam kontekstual (uang), seperti sinetron-sinetron sekarang ini. Namun dikalangan mehesiswa beranggapan bahwa Novel Romo Mangun sangat bermanfaat dan membangun nilai-nilai kemanusiaan. Terkhusus kepada kita semua yang benar-benar sangat ingin menjadi hambaTuhan yang ingin melayani.
Nama : Fernando Rianz Parasian Siregar
BalasHapusNIM : 15.02.574
Bapak Romo Mangun bukanlah hanya seorang Pastor, dan arsitek yang handal, tetapi dia juga pandai dalam hal sastra. Disisi lain, dia juga seorang penulis novel yang berakar dari rintihan hati beliau, karena mungkin ia mempunyai pengalaman yang sama menyangkut tentang seluruh novelnya tersebut. Dalam seluruh karya Romo Mangun, didalamnya terdapat banyar arti. Romo Mangun juga benar-benar ahli dalam sastra yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan. Dialain sisi Romo juga ikut dalam hal mengkritik pemerintahan, dia juga bisa dikatakan sebagai politikus. Romo Mangun tidak hanya memberikan seluruh kebaikannya kepada seluruh masyarakat, tetapi beliau juga sudah berperan aktif dalam menyenangkan hati Tuhan Yesus.
Terima Kasih...
Salam IBD.
Shalom kelompok 3.
BalasHapusNama Saya :Ricky Yacob N.S.Ginting
NIM:15.02.581
Kelompok 2.
Saya mw bertanyak kepada kalian dari kelompok 3 di bagian ,
II.PEMBAHASAAN
2.1.KARYA-KARYA ROMO MANGUN.
Bahwa karya Romo Mangun terkandung didalam nya banyak arti. Ia ingin meneladani "WELTANSCHAUUNG."
Yang saya mw tanyakan ke saudari apa itu WELTANSCHAUUNG? Tolong jelas kan juga dan jikalau ada contoh nya berikan juga.
Terimakasih,Bujur,Muliate.
God Bless You
Nama:RickyYacob.N.S.Ginting
BalasHapusNim:15.02.581
Romo Mangun, dengan segala kelebihan dan kekurangan, adalah tokoh yang besar kontribusinya dalam perjuangan membangun perdamaian dan persaudaraan antarmanusia tanpa memandang apa pun agama, suku, ras dan identitas-identitas primodial lainnya. Itulah sebabnya yang menjadi kata kunci dalam perjuangan kemanusiaan adalah imam, religiositas, dan bukanlah agama sebagaimana yang kita kenal dalam kamus kesalahkaprahan kita.
Nama:RickyYacob.N.S.Ginting
BalasHapusNIM:15.02.581
Romo Mangun, dengan segala kelebihan dan kekurangan, adalah tokoh yang besar kontribusinya dalam perjuangan membangun perdamaian dan persaudaraan antarmanusia tanpa memandang apa pun agama, suku, ras dan identitas-identitas primodial lainnya. Itulah sebabnya yang menjadi kata kunci dalam perjuangan kemanusiaan adalah imam, religiositas, dan bukanlah agama sebagaimana yang kita kenal dalam kamus kesalahkaprahan kita.
Nama : Ima Susi Susanti Sembiring
BalasHapusNIM : 15-02-576
Syalom
Saya sebagai penyaji kelompok III akan memberikan jawaban untuk pertanyaan dari teman-teman yang bertanya dalam sajian kami ini.
1. Saudara Chandra Syahputra Pasaribu
Pasca Einstein menekankan manusia dalam mencapai suatu masalah dengan sikap peduli dengan sesama untuk menunjukkan kalau kita itu satu.
2. Saudari Elisenta br Tarigan
Supaya pembaca novel Romo Mangun menyadri bahwa kita hidup di dunia ini sama. Maka dari itu Romo Mangun menuliskan nilai-nilai kemanusiaan, supaya kita tidak membeda-bedakan terutama kepada rakyat kecil karna kita semua sama dan sejajar.
3. Saudara Timothy P Saragi
Nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat pada Romo Mangun adalah keadilan. Ia adalah seorang Pastor yang terpanggil hatinya untuk membantu rakyat kecil karna pada saat itu pemerintah kurang memperhatikan mereka. Maka dari itu Romo Mangun ingin keadilan, kebenaran, dan kebaikan ditegakkan kepada rakyat kecil tersebut.
4. Saudari Elia br Pelawi
Logika lumrah atau biasa agak susah menerima kenyataan tentang mitologi yang dimana mitologi berbentuk sastra yang mengandung konsepsi atau dongeng mengenai kehidupan dewa dan mahluk halus dalam suatu kebudayaan.
Kepada semua mahasiswa-i saya beritahukan, hari ini Sabtu, 09 April 2016, pikul 15.00 wib sore, ruang komen topik bahasan ini resmi saya tutup.
BalasHapusTerimakasih bagi saudara-i yang sudah memberikan komen-nya, dan tetaplah memberikan komen di sajian-sajian berikutnya, hingga sampai sajian ke-7 nantinya, salam IBD.
Nama : Dina Erika Saragih
BalasHapusNim : 15.02.569
Ting/Jur : I PAK
Dalam pembelajaran IBD ini kita mendapat banyak sekali pengetahuan dan pembelajaran. Seperti Romo Mangun yang ahli dalam segala hal. Ia tidak hanya sekedar seorang pastor tetapi juga seorang sastrawan dan juga arsitek. Sosok Romo Mangun ini yang peduli dengan rakyat kecil dan orang pinggiran merupakan contoh yang patut kita terapkan dalam hidup kita sehari-hari. Terlebih dalam sastranya dan juga novel-novelnya yang mengkritik para pemerintah yang mementingkan dirinya sendiri atau oran-orang terpandang saja.